KATA
PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa atas segala limpahan rahmat, inayah, taufik serta hinayahnya kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Masyarakat
Madani”.
Dalam kesempatan
ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Allah
SWT, yang selalu memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis merasa
tenang dan selalu diberikan kemampuan berfikir dalam menyelesaikan makalah ini.
2. Kedua
orang tua.
3. Bapak
Alparadi, M.Pd.i. sebagai dosen mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
4. Para
sahabat dan teman-teman yang selalu memberikan motivasi baik dalam perkuliahan maupun dalam pergaulan
sehingga bermanfaat dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
jauh dari sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun,
khususnya dari dosen mata kuliah guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi
penulis untuk lebih baik di masa yang akan datang.
Pekanbaru,
16 November 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar .............................................................................................................. 1
Daftar Isi.......................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................. 3
1.1 Latar
Belakang...................................................................................................... 3
1.2 Rumusan
Masalah................................................................................................. 3
1.3 Tujuan
Penulisan................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................ 5
2.2 Pengertian
Masyarakat Madani............................................................................ 5
2.2 Konsep Masyarakat Madani dan
Karakternya..................................................... 6
2.3 Peranan
Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani.......................... 16
BAB III PENUTUP...................................................................................................... 17
Kesimpulan..................................................................................................................... 17
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................................... 18
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Semua
orang mendambakan kehidupan yang aman, damai dan sejahtera sebagaimana yang
dicita-citakan masyarakat Indonesia, yaitu adil dan makmur bagi seluruh lapisan
masyarakat. Untuk mencapainya berbagai sistem kenegaraan muncul, seperti
demokrasi. Cita-cita suatu masyarakat tidak mungkin dicapai tanpa
mengoptimalkan kualitas sumber daya manusia. Hal ini terlaksana apabila semua
bidang pembangunan bergerak secara terpadu yang menjadikan manusia sebagai
subjek. Pengembangan masyarakat sebagai sebuah kajian keilmuan dapat menyentuh
keberadaan manusia yang berperadaban. Pengembangan masyarakat merupakan sebuah
proses yang dapat merubah watak, sikap dan prilaku masyarakat ke arah
pembangunan yang dicita-citakan.
Indikator
dalam menentukan kemakmuran suatu bangsa sangat tergantung pada situasi dan
kondisi serta kebutuhan masyarakatnya. Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia
mencuatkan suatu kemakmuran yang didambakan yaitu terwujudnya masyarakat
madani. Munculnya istilah masyarakat madani pada era reformasi ini, tidak
terlepas dari kondisi politik negara yang berlangsung selama ini.
Term Civil
Society atau “Masyarakat Madani”, merupakan wacana dan fokus utama bagi
masyarakat dunia sampai saat ini. Apalagi di abad ke-21 ini, kebutuhan dan
tuntutan atas kehadiran bangunan masyarakat madani, bersamaan dengan maraknya
issu demokratisasi dan HAM. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah, sejauh manakah
Islam merespon masyarakat tersebut. Jawabannya adalah bahwa Islam yang ajaran
dasarnya Alquran, adalah shālih li kulli zamān wa makān (ajaran Islam
senantiasa relevan dengan situasi dan kondisi). Karena demikian halnya, maka
jelas bahwa Alquran memiliki konsep tersendiri tentang masyarakat madani.
1.2
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
pengertian masyarakat madani?
2. Bagaimana konsep masyarakat madani dan karakternya?
3. Bagaimana peranan umat islam
dalam mewujudkan masyarakat madani?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui pengertian masyarakat madani
2. Untuk
mengetahui konsep masyarakat
madani dan karakternya
3. Untuk mengetahui peranan umat
islam dalam mewujudkan masyarakat madani
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Masyarakat Madani
Masyarakat madani atau civil
society secara umum bisa diartikan sebagai suatu masyarakat atau institusi
sosial yang memiliki ciri-ciri antara lain : kemandirian, toleransi,
keswadayaan, kerelaan menolong satu sama lain, dan menjunjung tinggi norma dan
etika yang disepakati secara bersama-sama (Din Syamsudin, 1998 : 12).
Sebenarnya masyarakat madani secara substansial sudah ada sejak zaman
Aristoteles, yakni suatu masyarakat yang dipimpin dan tunduk pada hukum. Penguasa,
rakyat dan siapapun harus taat dan patuh pada hukum yang telah dibuat secara
bersama-sama. Bagi Aristoteles, siapapun bisa memimpin negara secara bergiliran
dengan syarat ia bisa berbuat adil. Dan keadilan baru bisa ditegakkan apabila
setiap tindakan didasarkan pada hukum. Jadi hukum merupakan ikatan moral yang
bisa membimbing manusia agar senantiasa berbuat adil.
Dalam mendefinisikan masyarakat
madani ini sangat tergantung pada kondisi sosio-kultural suatu bangsa, karena
bagaimanapun konsep masyarakat madani merupakan bangunan yang lahir dari
sejarah pergulatan bangsa Eropa Barat. Sebagai titik tolak, disini akan
dikemukakan beberapa definisi masyarakat dari berbagai pakar di berbagai negara
yang menganalisa dan mengkaji fenomena masyarakat madani ini.
1. Menurut Zbigniew Rau, masyarakat
madani merupakan suatu masyarakat yang berkembang dari sejarah, yang
mengandalkan ruang dimana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung,
bersaing satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini. Ruang ini
timbul di antara hubungan-hubungan yang merupakan hasil komitmen keluarga dan
hubungan-hubungan yang menyangkut kewajiban mereka terhadap negara. Lebih
tegasnya terdapat ruang hidup dalam kehidupan sehari-hari serta memberikan
integritas sistem nilai yang harus ada dalam masyarakat madani, yakni
individualisme, pasar dan pluralisme.
2. Menurut Han Sung-joo, masyarakat
madani merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak
dasar individu, perkumpulan sukarela yang terbebas dari negara, suatu ruang
pablik yang mampu mengartikulasikan isu-isu politik, gerakan warga negara yang
mampu mengendalikan diri dan independen, yang secara bersama-sama mengakui
norma-norma dan budaya yang menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk
serta pada akhirnya akan terdapat kelompok inti dalamnya.
3. Menurut Kim Sunhyuk, masyarakat
madani adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara
mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat yang secara
relatif otonom dari negara, yang merupakan satuan-satuan dasar dari reproduksi
dan masyarakat politik yang mampu melakukan kegiatan politik dalam ruang
publik, guna menyatakan kepedulian mereka dan memajukan kepentingan-kepentingan
mereka menurut prinsip-prinsip pluralisme dan pengelolaan yang mandiri.
Menurut Rahardjo (1996) masyarakat
madani identik dengan cita-cita Islam membangun ummah. Masyarakat madani adalah
suatu ruang (realm) partisipasi masyarakat melalui
perkumpulan-perkumpulan sukarela (voluntary association) melalui organisai-organisasi
massa. Masyarakat madani dan negara bergantung mana yang dianggap primer dan
mana yang sekunder. Sepertinya menurut pendapat tersebut, hak berserikat
merupakan prinsip dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam istilah Alquran, kehidupan masyarakat madani tersebut dikonteks-kan
dengan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr yang secara harfiyah
diartikan negeri yang baik dalam keridhaan Allah. Istilah yang digunakan Alquran sejalan dengan
makna masyarakat yang ideal, dan masyarakat yang ideal itu berada dalam ampunan
dan keridahan-Nya. “Masyarakat ideal” inilah yang dimaksud dengan “masyarakat
madani”.
Allah SWT
memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’
ayat 15:
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda
(kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah
kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari
rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu)
adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.
2.2
Konsep Masyarakat Madani dan
Karakternya
Istilah
masyarakat Madani sebenarnya telah lama hadir di bumi, walaupun dalam
wacana akademi di Indonesia belakangan mulai tersosialisasi. "Dalam
bahasa Inggris ia lebih dikenal dengan sebutan Civil Society". Sebab,
"masyarakat Madani", sebagai terjemahan kata civil society atau
al-muftama' al-madani. ....Istilah civil society pertama kali
dikemukakan oleh Cicero dalam filsafat politiknya dengan istilah societies
civilis, namun istilah ini mengalami perkembangan pengertian. Kalau Cicero
memahaminya identik dengan negara, maka kini dipahami sebagai kemandirian
aktivitas warga masyarakat madani sebagai "area tempat berbagai gerakan
sosial" (seperti himpunan ketetanggaan, kelompok wanita, kelompok
keagamaan, dan kelompk intelektual) serta organisasi sipil dari semua kelas
(seperti ahli hukum, wartawan, serikat buruh dan usahawan) berusaha menyatakan
diri mereka dalam suatu himpunan, sehingga mereka dapat mengekspresikan diri
mereka sendiri dan memajukkan berbagai kepentingan mereka. Secara ideal
masyarakat madani ini tidak hanya sekedar terwujudnya kemandirian masyarakat
berhadapan dengan negara, melainkan juga terwujudnya nilai- nilai tertentu
dalam kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan dan
kemajemukan (pluralisme) [Masykuri Abdillah, 1999:4]. Sedangkan menurut,
Komaruddin Hidayat, dalam wacana keislaman di Indonesia, adalah Nurcholish
Madjid yang menggelindingkan istilah "masyarakat madani" ini, yang
spirit serta visinya terbakukan dalam nama yayasan Paramadinah (terdiri dari
kata "para" dan "madinah", dan atau "parama" dan
"dina"). Maka, secara "semantik" artinya kira-kira ialah,
sebuah agama (dina) yang excellent (paramount) yang misinya ialah untuk
membangun sebuah peradaban (madani) [Kamaruddin Hidayat, 1999:267-268]
Kata
madani sepintas orang mendengar asosiasinya dengan kata Madinah, memang
demikian karena kata Madani berasal dari dan terjalin erat secara etimologi dan
terminologi dengan Madinah yang kemudian menjadi ibukota pertama pemerintahan
Muslim. Maka, "Kalangan pemikir muslim mengartikan civil society dengan
cara memberi atribut keislaman madani (attributive dari kata al-Madani).
Oleh karena itu, civil society dipandang dengan masyarakat madani yang
pada masyarakat idial di (kota) Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam
masyarakat tersebut Nabi berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip
kesetaraan hukum, jaminan kesejahteraan bagi semua warga, serta perlindungan
terhadap kelompok minoritas. Dengan begitu, kalangan pemikir Muslim menganggap
masyarakat (kota) Madinah sebagai prototype masyarakat ideal produk
Islam yang dapat dipersandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil
society" [Thoha Hamim, 1999:4].
Menurut
Komaruddin Hidayat, bagi kalangan intelektual Muslim kedua istilah (masyarakat
agama dan masyarakat madani) memiliki akar normatif dan kesejarahan yang sama,
yaitu sebuah masyarakat yang dilandasi norma-norma keagamaan sebagaimana yang
diwujudkan Muhammad SAW di Madinah, yang berarti "kota peradaban",
yang semula kota itu bernama Yathrib ke Madinah difahami oleh umat Islam
sebagai sebuah manifesto konseptual mengenai upaya Rasulullah Muhammad untuk
mewujudkan sebuah masyarakat Madani, yang diperhadapkan dengan masyarakat
Badawi dan Nomad [Kamaruddin Hidayat, 1999:267]. Untuk kondisi Indonesia
sekarang, kata Madani dapat diperhadapkan dengan istilah masyarakat Modern.
Dari paparan di atas dapat dikatakan
bahwa, bentuk masyarakat madani adalah suatu komunitas masyarakat yang memiliki
"kemandirian aktivitas warga masyarakatnya" yang berkembang sesuai
dengan potensi budaya, adat istiadat, dan agama, dengan mewujudkan dan
memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan (persamaan), penegakan
hukum, jaminan kesejahteraan, kebebasan, kemajemukan (pluralisme), dan
perlindungan terhadap kaum minoritas. Dengan demikian, masyarakat madani
merupakan suatu masyarakat ideal yang dicita-citakan dan akan diwujudkan di
bumi Indonesia, yang masyarakatnya sangat plural.
Adapun karakteristiknya:
1.
Free Public Sphere adalah adanya ruang publik yang
bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Pada ruang publik yang
bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi –
transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kehawatiran.
Persyarat ini dikemukakan oleh Arendit dan Habermal lebih lanjut dikatakan
bahwa ruang publik secara teoritis bisa diartikan sebagai wilayah dimana
masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan
publik. Warga negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan
pendapat berserikat, berkumpul serta mempublikasikan informasi kepada publik.
2.
Demokrasi merupakan satu entitas yang menjadi penegak wacana
masyarakat madani, diaman dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki
kebebasan penuh untuk meyakinkan aktifitas kesehariannya, termasuk berinteraksi
dengan lingkungannya. Demokrasi berarti masyarakat dapat berlaku santun dalam
pola hubungan berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak
mempertimbangkan suku, ras, dan agama. Prasarat demokratis ini banyak di
kemukakan oleh para pakar yang mengkaji fenomena masyarakat madani. Bahkan
demokrasi merupakan salah satu syarat mutlak bagi penegakan masyarakat madani.
3.
Toleransi merupakan sikap yang dikembangkan
dalam masyarakat madani untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan
menghormati aktivitas yang dikemukakan orang lain. Toleransi ini memungkinkan
akan adanya kesadaran masing – masing individu untuk menghargai dan menghormati
pendapat serta aktifitas yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang lain
berbeda. Toleransi menurut Nurcholish Madjid merupakan persoalan ajaran dan
kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara
pergaulan yang “enak” anatra berbagai kelompok yang berbeda – beda, maka hasil
itu harus dipahami sebagai “hikmah” atau “manfaat” dari pelaksanaan ajaran yang
benar.
4.
Pluralisme merupakan satuan prasarat penegakan
masyarakat madani, maka pluralisme harus dipahami secara mengakar dengan
menciptakan sebuah tatacara kehidupan yang menghargai dan menerima kemajemukan
dalam konteks kehidupan sehari – hari pluralisme tidak bisa dipahami hanya
dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tetapi
harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan pluralisme itu
sebagai bernilai positifdan merupakan rahmat Tuhan.
Menurut Nurcholis Madjid, konsep
pluralisme ini merupakan prasyarat bagi
tegaknya masyarakat madani. Pluralisme menurutnya adalah
pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan – ikatan keadaan. Bahkan pluralisme
adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui
mekanisme pengawasan dan pengembangan.
Lebih lanjut Nurcholish mengatakan bahwa sikap penuh
pengertian kepada orang lain itu diperlukan dalam masyarakat yang majemuk,
yakni masyarakat yang tidak menolitik.
5.
Keadilan sosial merupakan keadilan yang menyebutkan
kesimbangan dan pembagian yang proposional terhadap hak dan kewajiban setiap
warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan.
Rasulullah mengajarkan tiga karakteristik keislaman yang
menjadi fondasi pembangunan masyarakat madani, yaitu Islam yang humanis,
Islam yang moderat, dan Islam yang toleran.
a. Islam yang Humanis
Yang dimaksud dengan Islam yang humanis di sini adalah
bahwa substansi ajaran Islam yang diajarkan Rasulullah, sepenuhnya kompatibel
dengan fitrah manusia. Allah berfirman Q.S al-Rum ayat 30, artinya:
"Maka
hadapkalah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah di atas fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia sesuai dengan fitrah tersebut. Tidak ada
perubahan terhadap fitrah Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahuinya."
Karena itu, dalam aktualisasinya, ajaran Islam yang
disampaikan oleh Rasulullah dengan mudah diterima oleh nurani dan nalar
manusia. Dengan kata lain, ajaran Islam sejatinya adalah ajaran yang
memanusiakan manusia dengan sebenar-benarnya.
Muhammad Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa
manusia—berdasarkan fitrahnya—memiliki tendensi untuk melakukan hal-hal yang
bersifat konstruktif dan destruktif sekaligus. Dalam hal ini, lingkungan
memberikan pengaruh yang begitu kuat dalam membentuk karakter dan kepribadian
seseorang. Islam, sebagai agama paripurna, diturunkan tiada lain untuk
mengarahkan manusia kepada hal yang bersifat konstruktif dan mendatangkan
kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam permasalahan ini, manusia
diberikan kebebasan untuk memilih jalannya sendiri tatkala telah dijelaskan,
mana yang baik dan mana yang buruk; mana yang terpuji dan mana yang tercela.
Jika kaum kapitalis lebih menjadikan manusia sebagai
sosok egois dan pragmatis, sehingga cenderung mendiskreditkan aspek-aspek
sosial dengan mengatasnamakan kebebasan personal; kaum sosialis melakukan
sebaliknya, yaitu cenderung mengebiri hak-hak personal dengan mengatasnamakan
kepentingan sosial. Di sinilah Islam dengan karateristiknya yang spesial,
memiliki cara tersendiri dalam upaya untuk mengatur tatanan kehidupan manusia.
Islam berhasil mengatur hak-hak personal dan hak-hak sosial secara seimbang,
sehingga melahirkan nilai-nilai persaudaraan, kesetaraan, dan kebebasan
universal.
Hal lain yang perlu ditekankan pada poin ini adalah
bagaimana Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan berdasarkan naluri
dan tabiat manusia itu sendiri. Secara naluriah, setiap manusia memiliki
keinginan untuk hidup aman, damai, dan sejahtera dalam konteks personal maupun
komunal. Manusia juga telah diberikan berbagai kelebihan yang tidak dimiliki
oleh makhluk-makhluk Allah lainnya. Dengan keistimewaan-keistimewaan tersebut,
manusia dianggap sebagai makhluk yang paling sempurna. Kesepurnaan itu akan
berimplikasi pada kesempurnaan tatanan hidup bermasyarakat jika manusia
mengikuti instruksi-instruksi Allah sebagaimana yang dijelaskan dalam Surat
al-Isrâ’ ayat 23-34.
b. Islam yang Moderat
Yang dimaksud dengan Islam yang moderat adalah
keseimbangan ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan manusia, baik pada
dimensi vertikal (al-wasathiyah al-dîniyah) maupun horizontal (al-tawâzun
al-ijtimâʻiy). Kemoderatan inilah yang membedakan substansi ajaran Islam
yang diajarkan Rasulullah dengan ajaran-ajaran lainnya, baik sebelum
Rasulullah diutus maupun sesudahnya. Secara etimologis, kata 'moderat'
merupakan terjemahan dari al-wasathiyah yang memiliki sinonim al-tawâzun
(keseimbangan) dan al-iʻtidal (proporsional). Dalam hal ini Allah
menjelaskan karakteristik umat Rasulullah sebagai umat yang moderat.
Dalam catatan sejarahnya, karakteristik ini
teraplikasikan secara sempurna pada diri Rasulullah. Sesuai Hadis yang
diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah pernah mengatakan dalam penggalan doanya,
"Ya Allah, perbaikilah agamaku sebab ia adalah penjaga urusanku.
Perbaikilah pula duniaku karena di sinilah tempat hidupku. Dan perbaikilah pula
akhiratku kerena di sanalah tempat kembaliku."
Jadi, kemoderatan merupakan salah satu karakteristik
fundamental Islam sebagai agama paripurna. Kemoderatan inilah yang sesungguhnya
sangat kompatibel dengan naluri dan fitrah kemanusiaan. Kemoderatan ini juga
yang membuat Islam dengan mudah diterima akal sehat dan nalar manusia. Diakui
atau tidak, nilai-nilai kemoderatan inilah yang menjadi lambang supremasi
universalitas ajaran Islam sebagai agama penutup, yang mengabolisikan ajaran
Yahudi yang memiliki tendensi ekstremis dengan membunuh para Nabi dan Rasul
yang Allah utus kepada mereka, sedangkan ajaran Nasrani memiliki tendensi
eksesif dengan menuhankan Nabi Isa al-Masih dan lain-lain.
Dari kemoderatan inilah konsepsi-konsepsi
kemasyarakatan yang asasi diturunkan menjadi konsep yang utuh dalam membangun
masyarakat Madinah yang solid dan memegang teguh nilai-nilai dan norma
keislaman. Konsep-konsep kemasyarakatan tersebut adalah keamanan, keadilan,
konsistensi, kesolidan, superioritas, dan kesentralan. Konsep integral inilah
yang kemudian merasuk ke alam bawah sadar setiap masyarakat madinah yang diiringi
dengan aktualisasi konsep tersebut secara multidimensi, sehingga lambat laun
konsep tersebut menjadi identitas eternal keislaman yang diajarkan Rasulullah
di Madinah dan menjadi masyarakat percontohan bagi siapa saja yang datang
setelahnya.
Dalam hal ini Sayyid Quthb dalam bukunya al-Salâm
al-ʻÂlamy wa al-Islâmy mengamini bahwa keseimbangan sosial
(al-tawâzun al-ijtimâʻiy) merupakan fondasi utama guna mewujudkan keadilan
sosial (al-ʻadâlah al-ijtimâʻiyah) di tengah-tengah masyarakat. Nilai
keseimbangan sosial ini dalam tahapannya menjadi tolak ukur untuk mewujudkan
ketenteraman dan kedamaian di dalam kehidupan bermasyarakat dalam konteks
pembangunan masyarakat madani.
c. Islam yang Toleran
Kata toleran merupakan terjemahan dari al-samâhah
atau al-tasâmuh yang merupakan sinonim dari kata al-tasâhul atau al-luyûnah
yang berarti keloggaran, kemudahan, fleksibelitas, dan toleransi itu sendiri.
Kata 'toleran' di dalam ajaran Islam memiliki dua pengertian, yaitu yang
berkaitan dengan panganut agama Islam sendiri (Muslim), dan berkaitan dengan
penganut agama lain (Nonmuslim).
Jika dikaitkan dengan kaum Muslimin, maka toleran yang
dimaksud adalah kelonggaran, kemudahan, dan fleksibelitas ajaran Islam bagi
pemeluk-pemeluknya. Sebab pada hakikatnya, ajaran Islam telah dijadikan
mudah dan fleksibel untuk dipahami maupun diaktualkan. Sehingga Islam sebagai
rahmatan li al-ʻâlamîn benar-benar dimanifestasikan di dalam konteks
masyarakat Madinah pada masa Rasulullah.
Untuk itu, sebagai konsekuensi logis dari Islam sebagai
rahmatan li al-ʻâlamîn yang shâlih li kulli zamân wa makân, maka
substansi ajaran Islam harus benar-benar mudah dipahami dan fleksibel untuk
diaplikasikan. Sehingga di dalam perjalanannya, banyak didapati teks-teks
al-Qur’an dan Hadis yang menyinggung masalah tersebut. Allah berfirman, Q.S
al-Baqarah : 28, artinya:
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia
mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana
Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah
kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka
tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".
Demikian
juga teks al-Qur'an yang mengatakan, Q.S al-Baqarah 185, artinya :
"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir
(di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada
bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur”.
Maka tatkala ajaran Islam memiliki konsekuensi untuk
kompatibel dengan fitrah dan kondisi manusia, Allah pun mengetahui sifat lemah
pada diri manusia sehingga Ia mengatakan,
Q.S al-Nisa:28, artinya :
"Allah hanya menghendaki keringanan untuk kalian,
dan manusia telah diciptakan dalam keadaan lemah."
Adapun teks-teks dari Hadis mengenai keringanan dan
kemudahan tersebut dapat dilihat tatkala Nabi hendak mengutus Muʻadz dan Abu
Musa ke negeri Yaman, dalam hal ini Nabi berpesan, "Permudahlah, jangan
mempersulit." Masih dalam konteks yang sama, Nabi bahkan mengafirmasi
bahwa ajaran agama Islam memang penuh dengan kemudahan dan fleksibelitas. Di
samping itu, Aisyah pernah bercerita tentang tabiat sang Nabi yang senang
dengan kemudahan dan fleksibelitas, ia mengatakan, "Tidak pernah Nabi
diberi pilihan kecuali ia memilih yang paling mudah di antaranya, asalkan tidak
ada larangan untuk hal tersebut."
Inilah bentuk kemudahan dan fleksibelitas ajaran
Islam, dan tentu masih banyak teks-teks al-Qur’an dan Hadis yang menjadi bukti
eternal betapa ajaran Islam sangat mencintai kemudahan, kasih sayang, dan
kedamaian bagi para pemeluknya, maupun terhadap mereka yang berbeda agama,
sebagai upaya mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang memegang teguh
nilai-nilai dan norma keislaman. Sehingga ajaran Islam yang mengarahkan kepada
kekerasan dan sikap kompulsif tidak akan didapati sedikit pun, kecuali pada dua
hal; pertama, ketika berhadapan dengan musuh di dalam peperangan, bahkan
Allah memerintahkan untuk bersikap keras, berani, dan pantang mundur. Hal
tersebut diperintahkan sebagai bentuk konsekuensi dari keadaan yang tidak
memungkinkan untuk bersikap lunak dan lemah lembut, agar totalitas berperang
benar-benar tejaga, untuk meraup kemenangan yang gemilang. Kedua, sikap
kompulsif dalam menegakkan dan mengaktualkan hukuman syariat tatkala dilanggar.
Dalam hal ini Allah tidak menghendaki adanya rasa iba hati dan belas kasih,
sehingga hukuman tersebut urung diaktualkan. Sikap kompulsif ini tiada lain
merupakan upaya untuk menghindari penyebab terganggunya konstelasi kehidupan
bermasyarakat yang bermartabat dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma
kemanusiaan.
Pada tataran aplikasi realnya, jika kita cermati
hukum-hukum Islam seperti salat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain, kita akan
mendapati kemudahan dan fleksibelitas di sana. Kita juga akan mendapati
berbagai indikasi augmentatif yang—secara tidak langsung—mengukuhkan eksistensi
setiap anggota masyarakat sebagai khalifah di muka bumi, baik aspek personal
maupun sosial, seperti peningkatan mutu kepribadian seseorang, baik yang
berbentuk konkret maupun abstrak; atau perintah untuk membangkitkan kepekaan
sosial yang dibangun atas dasar persaudaraan, egalitarianisme, dan solidaritas.
Karena itu, dalam perjalanan sejarahnya syariat Islam tidak pernah menghambat
laju peradaban. Islam justru selalu mendorong umat manusia untuk melakukan
inovasi demi kemaslahatan manusia banyak. Islamlah yang senantiasa menyeru umat
manusia untuk tekun menuntut ilmu dan melakukan berbagai kegiatan ilmiah guna
menunjang eksistensi mereka di dunia ini.
Sedangkan jika kata toleran dikatikan dengan
Nonmuslim, maka yang dimaksud adalah nilai-nilai toleransi yang dipahami oleh
khalayak pada umumnya. Dalam hal ini, ajaran Islam sangat menghargai perbedaan
keyakinan. Mereka yang berbeda keyakinan akan mendapatkan hak-hak dan kewajiban
yang sama sebagai warga negara. Dengan kata lain, Islam benar-benar menjamin
keselamatan dan keamanan jiwa raga mereka, selama mereka mematuhi
ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama. Darah mereka haram
ditumpahkan sebagaimana darah kaum Muslimin. Allah berfirman, Q.S
al-An’am ayat 151,
artinya:
"Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas
kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh
anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan
kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik
yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, “dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu
memahami (nya).”
Rasulullah juga bersabda, "Barang siapa yang
membunuh dzimmi (Nonmuslim yang hidup di daerah kaum Muslimin dengan
ketentuan yang telah disepakati) tanpa alasan yang jelas, maka Allah
mengharamkan baginya masuk surga."
Umar Abdul Aziz Quraisyi menjelaskan bahwa sikap
toleran Islam terhadap penganut agama lain dibangun atas empat dasar: pertama,
dasar nilai-nilai keluruhan sebagai sesama manusia, meskipun dari beragam
agama, etnis, dan kebudayaan; kedua, dasar pemikiran bahwa perbedaan
agama merupakan kehendak Allah semata; ketiga, dasar pemikiran bahwa
kaum Muslim tidak berhak sedikit pun untuk menjustifikasi kecelakaan mereka
yang berlainan keyakinan selama di dunia, karena hal itu merupakan hak
prerogatif Allah di akhirat kelak; sedangkan keempat adalah pemikiran
bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berbuat adil dan berakhlak mulia,
meskipun terhadap mereka yang berlainan agama.
2.3 Peranan
Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani
Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat
Islam terjadi pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan
kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer,
ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi
kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama ilmuwan besar dunia lahir pada
masa itu, seperti Ibnu Sina, Ubnu Rusyd, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang
lain.
1. Kualitas SDM
Umat Islam
Dalam Q.S. Ali
Imran ayat 110
Artinya:
Kamu adalah
umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf,
dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Dari ayat
tersebut sudah jelas bahwa Allah menyatakan bahwa umat Islam adalah umat yang
terbaik dari semua kelompok manusia yang Allah ciptakan. Di antara aspek
kebaikan umat Islam itu adalah keunggulan kualitas SDMnya dibanding umat non Islam. Keunggulan
kualitas umat Islam yang dimaksud dalam Al-Qur’an itu sifatnya normatif,
potensial, bukan real.
2. Posisi Umat
Islam
SDM umat Islam
saat ini belum mampu menunjukkan kualitas yang unggul. Karena itu dalam
percaturan global, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan ilmu
pengetahuan dan teknologi, belum mampu menunjukkan perannya yang signifikan. Di
Indonesia, jumlah umat Islam lebih dari 85%, tetapi karena kualitas SDM nya
masih rendah, juga belum mampu memberikan peran yang proporsional. Hukum
positif yang berlaku di negeri ini bukan hukum Islam. Sistem sosial politik dan
ekonomi juga belum dijiwai oleh nilai-nilai Islam.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan
sebagai berikut : [1] Menyarakat madani merupakan suatu ujud masyarakat yang
memiliki kemandirian aktivitas dengan ciri: universalitas, supermasi,
keabadian, pemerataan kekuatan, kebaikan dari dan untuk bersama, meraih
kebajikan umum, piranti eksternal, bukan berinteraksi pada keuntungan, dan
kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya. ciri masyarakat ini
merupakan masyarakat yang ideal dalam kehidupan. Untuk Pemerintah pada era
reformasi ini, akan mengarakan semua potensi bangsa berupa pendidikan, ekonomi,
politik, hukum, sosial budaya, militer, kerah masyarakat madani yang
dicita-citakan. [2] Konsep dasar pembaharuan pendidikan harus didasarkan pada
asumsi-asumsi dasar tentang manusia meenurut aajaran Islam, filsafat dan teori
pendidikan Islam yang dijabarkan dan dikembangkan berdasarkan asumsi-asumsi
tentang manusia dan lingkungannya. Atau dengan kata lain pembaharuan pendidikan
Islam adalah filsafat dan teori pendidikan Islam yang sesuai dengan ajaran
Islam, dan untuk lingkungan ( sosial - kultural) yang dalam hal ini adalah masyarakat
madani. [3] Konsep dasar pendidikan Islam supaya relevan dengan kepentingan
umat Islam dan relevan dengan disain masyarakat madani. Maka penerapan konsep
dasar filsafat dan teori pendidikan harus memperhatikan konteks supra sistem
bagi kepentingan komunitas "masyarakat madani" yang dicita-citakan
bangsa ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Impressive work you done. Personal Interview Tips
BalasHapusNice it is. English Learning
BalasHapus