cursor

Senin, 18 April 2016

Makalah Masyarakat Madani

KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat, inayah, taufik serta hinayahnya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Masyarakat Madani”.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1.      Allah SWT, yang selalu memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis merasa tenang dan selalu diberikan kemampuan berfikir dalam menyelesaikan makalah ini.
2.      Kedua orang tua.
3.      Bapak Alparadi, M.Pd.i.  sebagai  dosen mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
4.      Para sahabat dan teman-teman yang selalu memberikan motivasi  baik dalam perkuliahan maupun dalam pergaulan sehingga bermanfaat dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, khususnya dari dosen mata kuliah guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi penulis untuk lebih baik di masa yang akan datang.

                                                                                               Pekanbaru, 16 November 2014


                                                                                                                  Penulis




DAFTAR ISI
Kata Pengantar .............................................................................................................. 1
Daftar Isi.......................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................. 3
1.1  Latar Belakang...................................................................................................... 3
1.2  Rumusan Masalah................................................................................................. 3
1.3  Tujuan Penulisan................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................ 5  
2.2  Pengertian Masyarakat Madani............................................................................ 5  
      2.2 Konsep Masyarakat Madani dan Karakternya..................................................... 6
      2.3 Peranan Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani.......................... 16
BAB III PENUTUP...................................................................................................... 17
Kesimpulan..................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 18  



BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
Semua orang mendambakan kehidupan yang aman, damai dan sejahtera sebagaimana yang dicita-citakan masyarakat Indonesia, yaitu adil dan makmur bagi seluruh lapisan masyarakat. Untuk mencapainya berbagai sistem kenegaraan muncul, seperti demokrasi. Cita-cita suatu masyarakat tidak mungkin dicapai tanpa mengoptimalkan kualitas sumber daya manusia. Hal ini terlaksana apabila semua bidang pembangunan bergerak secara terpadu yang menjadikan manusia sebagai subjek. Pengembangan masyarakat sebagai sebuah kajian keilmuan dapat menyentuh keberadaan manusia yang berperadaban. Pengembangan masyarakat merupakan sebuah proses yang dapat merubah watak, sikap dan prilaku masyarakat ke arah pembangunan yang dicita-citakan.
Indikator dalam menentukan kemakmuran suatu bangsa sangat tergantung pada situasi dan kondisi serta kebutuhan masyarakatnya. Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia mencuatkan suatu kemakmuran yang didambakan yaitu terwujudnya masyarakat madani. Munculnya istilah masyarakat madani pada era reformasi ini, tidak terlepas dari kondisi politik negara yang berlangsung selama ini.
Term Civil Society atau “Masyarakat Madani”, merupakan wacana dan fokus utama bagi masyarakat dunia sampai saat ini. Apalagi di abad ke-21 ini, kebutuhan dan tuntutan atas kehadiran bangunan masyarakat madani, bersamaan dengan maraknya issu demokratisasi dan HAM. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah, sejauh manakah Islam merespon masyarakat tersebut. Jawabannya adalah bahwa Islam yang ajaran dasarnya Alquran, adalah shālih li kulli zamān wa makān (ajaran Islam senantiasa relevan dengan situasi dan kondisi). Karena demikian halnya, maka jelas bahwa Alquran memiliki konsep tersendiri tentang masyarakat madani.
1.2         Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian masyarakat madani?
2.      Bagaimana konsep masyarakat madani dan karakternya?
3.   Bagaimana peranan umat islam dalam mewujudkan masyarakat madani?
1.3     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian masyarakat madani
2.      Untuk mengetahui konsep masyarakat madani dan karakternya
3.   Untuk mengetahui peranan umat islam dalam mewujudkan masyarakat madani






BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat madani atau civil society secara umum bisa diartikan sebagai suatu masyarakat atau institusi sosial yang memiliki ciri-ciri antara lain : kemandirian, toleransi, keswadayaan, kerelaan menolong satu sama lain, dan menjunjung tinggi norma dan etika yang disepakati secara bersama-sama (Din Syamsudin, 1998 : 12). Sebenarnya masyarakat madani secara substansial sudah ada sejak zaman Aristoteles, yakni suatu masyarakat yang dipimpin dan tunduk pada hukum. Penguasa, rakyat dan siapapun harus taat dan patuh pada hukum yang telah dibuat secara bersama-sama. Bagi Aristoteles, siapapun bisa memimpin negara secara bergiliran dengan syarat ia bisa berbuat adil. Dan keadilan baru bisa ditegakkan apabila setiap tindakan didasarkan pada hukum. Jadi hukum merupakan ikatan moral yang bisa membimbing manusia agar senantiasa berbuat adil.
Dalam mendefinisikan masyarakat madani ini sangat tergantung pada kondisi sosio-kultural suatu bangsa, karena bagaimanapun konsep masyarakat madani merupakan bangunan yang lahir dari sejarah pergulatan bangsa Eropa Barat. Sebagai titik tolak, disini akan dikemukakan beberapa definisi masyarakat dari berbagai pakar di berbagai negara yang menganalisa dan mengkaji fenomena masyarakat madani ini.
1.      Menurut Zbigniew Rau, masyarakat madani merupakan suatu masyarakat yang berkembang dari sejarah, yang mengandalkan ruang dimana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung, bersaing satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini. Ruang ini timbul di antara hubungan-hubungan yang merupakan hasil komitmen keluarga dan hubungan-hubungan yang menyangkut kewajiban mereka terhadap negara. Lebih tegasnya terdapat ruang hidup dalam kehidupan sehari-hari serta memberikan integritas sistem nilai yang harus ada dalam masyarakat madani, yakni individualisme, pasar dan pluralisme.
2.      Menurut Han Sung-joo, masyarakat madani merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan sukarela yang terbebas dari negara, suatu ruang pablik yang mampu mengartikulasikan isu-isu politik, gerakan warga negara yang mampu mengendalikan diri dan independen, yang secara bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya yang menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk serta pada akhirnya akan terdapat kelompok inti dalamnya.
3.      Menurut Kim Sunhyuk, masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat yang secara relatif otonom dari negara, yang merupakan satuan-satuan dasar dari reproduksi dan masyarakat politik yang mampu melakukan kegiatan politik dalam ruang publik, guna menyatakan kepedulian mereka dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka menurut prinsip-prinsip pluralisme dan pengelolaan yang mandiri.
Menurut Rahardjo (1996) masyarakat madani identik dengan cita-cita Islam membangun ummah. Masyarakat madani adalah suatu ruang (realm) partisipasi masyarakat melalui perkumpulan-perkumpulan sukarela (voluntary association) melalui organisai-organisasi massa. Masyarakat madani dan negara bergantung mana yang dianggap primer dan mana yang sekunder. Sepertinya menurut pendapat tersebut, hak berserikat merupakan prinsip dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam istilah Alquran, kehidupan masyarakat madani tersebut dikonteks-kan dengan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr yang secara harfiyah diartikan negeri yang baik dalam keridhaan Allah. Istilah yang digunakan Alquran sejalan dengan makna masyarakat yang ideal, dan masyarakat yang ideal itu berada dalam ampunan dan keridahan-Nya. “Masyarakat ideal” inilah yang dimaksud dengan “masyarakat madani”.
Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’ ayat 15:
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.
2.2    Konsep Masyarakat Madani dan Karakternya
Istilah masyarakat Madani sebenarnya telah lama hadir di bumi, walaupun dalam  wacana akademi di Indonesia belakangan mulai tersosialisasi. "Dalam bahasa Inggris ia lebih dikenal dengan sebutan Civil Society". Sebab, "masyarakat Madani", sebagai terjemahan kata civil society atau al-muftama' al-madani. ....Istilah civil society pertama kali dikemukakan oleh Cicero dalam filsafat politiknya dengan istilah societies civilis, namun istilah ini mengalami perkembangan pengertian. Kalau Cicero memahaminya identik dengan negara, maka kini dipahami sebagai kemandirian aktivitas warga masyarakat madani sebagai "area tempat berbagai gerakan sosial" (seperti himpunan ketetanggaan, kelompok wanita, kelompok keagamaan, dan kelompk intelektual) serta organisasi sipil dari semua kelas (seperti ahli hukum, wartawan, serikat buruh dan usahawan) berusaha menyatakan diri mereka dalam suatu himpunan, sehingga mereka dapat mengekspresikan diri mereka sendiri dan memajukkan berbagai kepentingan mereka. Secara ideal masyarakat madani ini tidak hanya sekedar terwujudnya kemandirian masyarakat berhadapan dengan negara, melainkan juga terwujudnya nilai- nilai tertentu dalam kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan dan kemajemukan (pluralisme) [Masykuri Abdillah, 1999:4]. Sedangkan menurut, Komaruddin Hidayat, dalam wacana keislaman di Indonesia, adalah Nurcholish Madjid yang menggelindingkan istilah "masyarakat madani" ini, yang spirit serta visinya terbakukan dalam nama yayasan Paramadinah (terdiri dari kata "para" dan "madinah", dan atau "parama" dan "dina"). Maka, secara "semantik" artinya kira-kira ialah, sebuah agama (dina) yang excellent (paramount) yang misinya ialah untuk membangun sebuah peradaban (madani) [Kamaruddin Hidayat, 1999:267-268]
Kata madani sepintas orang mendengar asosiasinya dengan kata Madinah, memang demikian karena kata Madani berasal dari dan terjalin erat secara etimologi dan terminologi dengan Madinah yang kemudian menjadi ibukota pertama pemerintahan Muslim. Maka, "Kalangan pemikir muslim mengartikan civil society dengan cara memberi atribut keislaman madani (attributive dari kata al-Madani). Oleh karena itu, civil society dipandang dengan masyarakat madani yang pada masyarakat idial di (kota) Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam masyarakat tersebut Nabi berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan hukum, jaminan kesejahteraan bagi semua warga, serta perlindungan terhadap kelompok minoritas. Dengan begitu, kalangan pemikir Muslim menganggap masyarakat (kota) Madinah sebagai prototype masyarakat ideal produk Islam yang dapat dipersandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society" [Thoha Hamim, 1999:4].
Menurut Komaruddin Hidayat, bagi kalangan intelektual Muslim kedua istilah (masyarakat agama dan masyarakat madani) memiliki akar normatif dan kesejarahan yang sama, yaitu sebuah masyarakat yang dilandasi norma-norma keagamaan sebagaimana yang diwujudkan Muhammad SAW di Madinah, yang berarti "kota peradaban", yang semula kota itu bernama Yathrib ke Madinah difahami oleh umat Islam sebagai sebuah manifesto konseptual mengenai upaya Rasulullah Muhammad untuk mewujudkan sebuah masyarakat Madani, yang diperhadapkan dengan masyarakat Badawi dan Nomad [Kamaruddin Hidayat, 1999:267]. Untuk kondisi Indonesia sekarang, kata Madani dapat diperhadapkan dengan istilah masyarakat Modern.
Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa, bentuk masyarakat madani adalah suatu komunitas masyarakat yang memiliki "kemandirian aktivitas warga masyarakatnya" yang berkembang sesuai dengan potensi budaya, adat istiadat, dan agama, dengan mewujudkan dan memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan (persamaan), penegakan hukum, jaminan kesejahteraan, kebebasan, kemajemukan (pluralisme), dan perlindungan terhadap kaum minoritas. Dengan demikian, masyarakat madani merupakan suatu masyarakat ideal yang dicita-citakan dan akan diwujudkan di bumi Indonesia, yang masyarakatnya sangat plural.
Adapun karakteristiknya:
1.        Free Public Sphere adalah adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi – transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kehawatiran. Persyarat ini dikemukakan oleh Arendit dan Habermal lebih lanjut dikatakan bahwa ruang publik secara teoritis bisa diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik. Warga negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat berserikat, berkumpul serta mempublikasikan informasi kepada publik.
2.        Demokrasi merupakan satu entitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani, diaman dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk meyakinkan aktifitas kesehariannya, termasuk berinteraksi dengan lingkungannya. Demokrasi berarti masyarakat dapat berlaku santun dalam pola hubungan berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan suku, ras, dan agama. Prasarat demokratis ini banyak di kemukakan oleh para pakar yang mengkaji fenomena masyarakat madani. Bahkan demokrasi merupakan salah satu syarat mutlak bagi penegakan masyarakat madani.
3.        Toleransi merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dikemukakan orang lain. Toleransi ini memungkinkan akan adanya kesadaran masing – masing individu untuk menghargai dan menghormati pendapat serta aktifitas yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang lain berbeda. Toleransi menurut Nurcholish Madjid merupakan persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang “enak” anatra berbagai kelompok yang berbeda – beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai “hikmah” atau “manfaat” dari pelaksanaan ajaran yang benar.
4.        Pluralisme merupakan satuan prasarat penegakan masyarakat madani, maka pluralisme harus dipahami secara mengakar dengan menciptakan sebuah tatacara kehidupan yang menghargai dan menerima kemajemukan dalam konteks kehidupan sehari – hari pluralisme tidak bisa dipahami hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan pluralisme itu sebagai bernilai positifdan merupakan rahmat Tuhan.
Menurut Nurcholis Madjid, konsep pluralisme ini merupakan prasyarat bagi
tegaknya masyarakat madani. Pluralisme menurutnya adalah pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan – ikatan keadaan. Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengembangan.
Lebih lanjut Nurcholish mengatakan bahwa sikap penuh pengertian kepada orang lain itu diperlukan dalam masyarakat yang majemuk, yakni masyarakat yang tidak menolitik.
5.        Keadilan sosial merupakan keadilan yang menyebutkan kesimbangan dan pembagian yang proposional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan.
Rasulullah mengajarkan tiga karakteristik keislaman yang menjadi fondasi pembangunan masyarakat madani, yaitu Islam yang humanis, Islam yang moderat, dan Islam yang toleran.
a.  Islam yang Humanis
Yang dimaksud dengan Islam yang humanis di sini adalah bahwa substansi ajaran Islam yang diajarkan Rasulullah, sepenuhnya kompatibel dengan fitrah manusia. Allah berfirman Q.S al-Rum ayat 30, artinya:
"Maka hadapkalah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah di atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai dengan fitrah tersebut. Tidak ada perubahan terhadap fitrah Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya."
Karena itu, dalam aktualisasinya, ajaran Islam yang disampaikan oleh Rasulullah  dengan mudah diterima oleh nurani dan nalar manusia. Dengan kata lain, ajaran Islam sejatinya adalah ajaran yang memanusiakan manusia dengan sebenar-benarnya.
Muhammad Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa manusia—berdasarkan fitrahnya—memiliki tendensi untuk melakukan hal-hal yang bersifat konstruktif dan destruktif sekaligus. Dalam hal ini, lingkungan memberikan pengaruh yang begitu kuat dalam membentuk karakter dan kepribadian seseorang. Islam, sebagai agama paripurna, diturunkan tiada lain untuk mengarahkan manusia kepada hal yang bersifat konstruktif dan mendatangkan kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam permasalahan ini, manusia diberikan kebebasan untuk memilih jalannya sendiri tatkala telah dijelaskan, mana yang baik dan mana yang buruk; mana yang terpuji dan mana yang tercela.
Jika kaum kapitalis lebih menjadikan manusia sebagai sosok egois dan pragmatis, sehingga cenderung mendiskreditkan aspek-aspek sosial dengan mengatasnamakan kebebasan personal; kaum sosialis melakukan sebaliknya, yaitu cenderung mengebiri hak-hak personal dengan mengatasnamakan kepentingan sosial. Di sinilah Islam dengan karateristiknya yang spesial, memiliki cara tersendiri dalam upaya untuk mengatur tatanan kehidupan manusia. Islam berhasil mengatur hak-hak personal dan hak-hak sosial secara seimbang, sehingga melahirkan nilai-nilai persaudaraan, kesetaraan, dan kebebasan universal.
Hal lain yang perlu ditekankan pada poin ini adalah bagaimana Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan berdasarkan naluri dan tabiat manusia itu sendiri. Secara naluriah, setiap manusia memiliki keinginan untuk hidup aman, damai, dan sejahtera dalam konteks personal maupun komunal. Manusia juga telah diberikan berbagai kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk Allah lainnya. Dengan keistimewaan-keistimewaan tersebut, manusia dianggap sebagai makhluk yang paling sempurna. Kesepurnaan itu akan berimplikasi pada kesempurnaan tatanan hidup bermasyarakat jika manusia mengikuti instruksi-instruksi Allah sebagaimana yang dijelaskan dalam Surat al-Isrâ’ ayat 23-34.
b.  Islam yang Moderat
Yang dimaksud dengan Islam yang moderat adalah keseimbangan ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan manusia, baik pada dimensi vertikal (al-wasathiyah al-dîniyah) maupun horizontal (al-tawâzun al-ijtimâʻiy). Kemoderatan inilah yang membedakan substansi ajaran Islam yang diajarkan Rasulullah  dengan ajaran-ajaran lainnya, baik sebelum Rasulullah  diutus maupun sesudahnya. Secara etimologis, kata 'moderat' merupakan terjemahan dari al-wasathiyah yang memiliki sinonim al-tawâzun (keseimbangan) dan al-iʻtidal (proporsional). Dalam hal ini Allah  menjelaskan karakteristik umat Rasulullah sebagai umat yang moderat.
Dalam catatan sejarahnya, karakteristik ini teraplikasikan secara sempurna pada diri Rasulullah. Sesuai Hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah pernah mengatakan dalam penggalan doanya, "Ya Allah, perbaikilah agamaku sebab ia adalah penjaga urusanku. Perbaikilah pula duniaku karena di sinilah tempat hidupku. Dan perbaikilah pula akhiratku kerena di sanalah tempat kembaliku."
Jadi, kemoderatan merupakan salah satu karakteristik fundamental Islam sebagai agama paripurna. Kemoderatan inilah yang sesungguhnya sangat kompatibel dengan naluri dan fitrah kemanusiaan. Kemoderatan ini juga yang membuat Islam dengan mudah diterima akal sehat dan nalar manusia. Diakui atau tidak, nilai-nilai kemoderatan inilah yang menjadi lambang supremasi universalitas ajaran Islam sebagai agama penutup, yang mengabolisikan ajaran Yahudi yang memiliki tendensi ekstremis dengan membunuh para Nabi dan Rasul yang Allah utus kepada mereka, sedangkan ajaran Nasrani memiliki tendensi eksesif dengan menuhankan Nabi Isa al-Masih dan lain-lain.
Dari kemoderatan inilah konsepsi-konsepsi kemasyarakatan yang asasi diturunkan menjadi konsep yang utuh dalam membangun masyarakat Madinah yang solid dan memegang teguh nilai-nilai dan norma keislaman. Konsep-konsep kemasyarakatan tersebut adalah keamanan, keadilan, konsistensi, kesolidan, superioritas, dan kesentralan. Konsep integral inilah yang kemudian merasuk ke alam bawah sadar setiap masyarakat madinah yang diiringi dengan aktualisasi konsep tersebut secara multidimensi, sehingga lambat laun konsep tersebut menjadi identitas eternal keislaman yang diajarkan Rasulullah di Madinah dan menjadi masyarakat percontohan bagi siapa saja yang datang setelahnya.
Dalam hal ini Sayyid Quthb dalam bukunya al-Salâm al-ʻÂlamy wa al-Islâmy mengamini bahwa keseimbangan sosial (al-tawâzun al-ijtimâʻiy) merupakan fondasi utama guna mewujudkan keadilan sosial (al-ʻadâlah al-ijtimâʻiyah) di tengah-tengah masyarakat. Nilai keseimbangan sosial ini dalam tahapannya menjadi tolak ukur untuk mewujudkan ketenteraman dan kedamaian di dalam kehidupan bermasyarakat dalam konteks pembangunan masyarakat madani.
c. Islam yang Toleran
Kata toleran merupakan terjemahan dari al-samâhah atau al-tasâmuh yang merupakan sinonim dari kata al-tasâhul atau al-luyûnah yang berarti keloggaran, kemudahan, fleksibelitas, dan toleransi itu sendiri. Kata 'toleran' di dalam ajaran Islam memiliki dua pengertian, yaitu yang berkaitan dengan panganut agama Islam sendiri (Muslim), dan berkaitan dengan penganut agama lain (Nonmuslim). 
Jika dikaitkan dengan kaum Muslimin, maka toleran yang dimaksud adalah kelonggaran, kemudahan, dan fleksibelitas ajaran Islam bagi pemeluk-pemeluknya.  Sebab pada hakikatnya, ajaran Islam telah dijadikan mudah dan fleksibel untuk dipahami maupun diaktualkan. Sehingga Islam sebagai rahmatan li al-ʻâlamîn benar-benar dimanifestasikan di dalam konteks masyarakat Madinah pada masa Rasulullah.
Untuk itu, sebagai konsekuensi logis dari Islam sebagai rahmatan li al-ʻâlamîn yang shâlih li kulli zamân wa makân, maka substansi ajaran Islam harus benar-benar mudah dipahami dan fleksibel untuk diaplikasikan. Sehingga di dalam perjalanannya, banyak didapati teks-teks al-Qur’an dan Hadis yang menyinggung masalah tersebut. Allah berfirman, Q.S al-Baqarah : 28, artinya:
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".   
Demikian juga teks al-Qur'an yang mengatakan, Q.S al-Baqarah 185, artinya :
Maka tatkala ajaran Islam memiliki konsekuensi untuk kompatibel dengan fitrah dan kondisi manusia, Allah pun mengetahui sifat lemah pada diri manusia sehingga Ia mengatakan,  Q.S al-Nisa:28, artinya :
"Allah hanya menghendaki keringanan untuk kalian, dan manusia telah diciptakan dalam keadaan lemah." 
Adapun teks-teks dari Hadis mengenai keringanan dan kemudahan tersebut dapat dilihat tatkala Nabi hendak mengutus Muʻadz dan Abu Musa ke negeri Yaman, dalam hal ini Nabi berpesan, "Permudahlah, jangan mempersulit." Masih dalam konteks yang sama, Nabi bahkan mengafirmasi bahwa ajaran agama Islam memang penuh dengan kemudahan dan fleksibelitas. Di samping itu, Aisyah pernah bercerita tentang tabiat sang Nabi yang senang dengan kemudahan dan fleksibelitas, ia mengatakan, "Tidak pernah Nabi diberi pilihan kecuali ia memilih yang paling mudah di antaranya, asalkan tidak ada larangan untuk hal tersebut."
Inilah bentuk kemudahan dan fleksibelitas ajaran Islam, dan tentu masih banyak teks-teks al-Qur’an dan Hadis yang menjadi bukti eternal betapa ajaran Islam sangat mencintai kemudahan, kasih sayang, dan kedamaian bagi para pemeluknya, maupun terhadap mereka yang berbeda agama, sebagai upaya mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai dan norma keislaman. Sehingga ajaran Islam yang mengarahkan kepada kekerasan dan sikap kompulsif tidak akan didapati sedikit pun, kecuali pada dua hal; pertama, ketika berhadapan dengan musuh di dalam peperangan, bahkan Allah memerintahkan untuk bersikap keras, berani, dan pantang mundur. Hal tersebut diperintahkan sebagai bentuk konsekuensi dari keadaan yang tidak memungkinkan untuk bersikap lunak dan lemah lembut, agar totalitas berperang benar-benar tejaga, untuk meraup kemenangan yang gemilang. Kedua, sikap kompulsif dalam menegakkan dan mengaktualkan hukuman syariat tatkala dilanggar. Dalam hal ini Allah tidak menghendaki adanya rasa iba hati dan belas kasih, sehingga hukuman tersebut urung diaktualkan. Sikap kompulsif ini tiada lain merupakan upaya untuk menghindari penyebab terganggunya konstelasi kehidupan bermasyarakat yang bermartabat dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma kemanusiaan.
Pada tataran aplikasi realnya, jika kita cermati hukum-hukum Islam seperti salat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain, kita akan mendapati kemudahan dan fleksibelitas di sana. Kita juga akan mendapati berbagai indikasi augmentatif yang—secara tidak langsung—mengukuhkan eksistensi setiap anggota masyarakat sebagai khalifah di muka bumi, baik aspek personal maupun sosial, seperti peningkatan mutu kepribadian seseorang, baik yang berbentuk konkret maupun abstrak; atau perintah untuk membangkitkan kepekaan sosial yang dibangun atas dasar persaudaraan, egalitarianisme, dan solidaritas. Karena itu, dalam perjalanan sejarahnya syariat Islam tidak pernah menghambat laju peradaban. Islam justru selalu mendorong umat manusia untuk melakukan inovasi demi kemaslahatan manusia banyak. Islamlah yang senantiasa menyeru umat manusia untuk tekun menuntut ilmu dan melakukan berbagai kegiatan ilmiah guna menunjang eksistensi mereka di dunia ini.
Sedangkan jika kata toleran dikatikan dengan Nonmuslim, maka yang dimaksud adalah nilai-nilai toleransi yang dipahami oleh khalayak pada umumnya. Dalam hal ini, ajaran Islam sangat menghargai perbedaan keyakinan. Mereka yang berbeda keyakinan akan mendapatkan hak-hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Dengan kata lain, Islam benar-benar menjamin keselamatan dan keamanan jiwa raga mereka, selama mereka mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama. Darah mereka haram ditumpahkan sebagaimana darah kaum Muslimin. Allah  berfirman, Q.S al-An’am ayat 151, artinya:
"Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, “dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya).”
Rasulullah juga bersabda, "Barang siapa yang membunuh dzimmi (Nonmuslim yang hidup di daerah kaum Muslimin dengan ketentuan yang telah disepakati) tanpa alasan yang jelas, maka Allah mengharamkan baginya masuk surga."
Umar Abdul Aziz Quraisyi menjelaskan bahwa sikap toleran Islam terhadap penganut agama lain dibangun atas empat dasar: pertama, dasar nilai-nilai keluruhan sebagai sesama manusia, meskipun dari beragam agama, etnis, dan kebudayaan; kedua, dasar pemikiran bahwa perbedaan agama merupakan kehendak Allah semata; ketiga, dasar pemikiran bahwa kaum Muslim tidak berhak sedikit pun untuk menjustifikasi kecelakaan mereka yang berlainan keyakinan selama di dunia, karena hal itu merupakan hak prerogatif Allah di akhirat kelak; sedangkan keempat adalah pemikiran bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berbuat adil dan berakhlak mulia, meskipun terhadap mereka yang berlainan agama.
2.3    Peranan Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani
Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Ubnu Rusyd, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.
1.      Kualitas SDM Umat Islam
Dalam Q.S. Ali Imran ayat 110
Artinya:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa Allah menyatakan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik dari semua kelompok manusia yang Allah ciptakan. Di antara aspek kebaikan umat Islam itu adalah keunggulan kualitas SDMnya dibanding umat non Islam. Keunggulan kualitas umat Islam yang dimaksud dalam Al-Qur’an itu sifatnya normatif, potensial, bukan real.
2.      Posisi Umat Islam
SDM umat Islam saat ini belum mampu menunjukkan kualitas yang unggul. Karena itu dalam percaturan global, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, belum mampu menunjukkan perannya yang signifikan. Di Indonesia, jumlah umat Islam lebih dari 85%, tetapi karena kualitas SDM nya masih rendah, juga belum mampu memberikan peran yang proporsional. Hukum positif yang berlaku di negeri ini bukan hukum Islam. Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum dijiwai oleh nilai-nilai Islam.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut : [1] Menyarakat madani merupakan suatu ujud masyarakat yang memiliki kemandirian aktivitas dengan ciri: universalitas, supermasi, keabadian, pemerataan kekuatan, kebaikan dari dan untuk bersama, meraih kebajikan umum, piranti eksternal, bukan berinteraksi pada keuntungan, dan kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya. ciri masyarakat ini merupakan masyarakat yang ideal dalam kehidupan. Untuk Pemerintah pada era reformasi ini, akan mengarakan semua potensi bangsa berupa pendidikan, ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, militer, kerah masyarakat madani yang dicita-citakan. [2] Konsep dasar pembaharuan pendidikan harus didasarkan pada asumsi-asumsi dasar tentang manusia meenurut aajaran Islam, filsafat dan teori pendidikan Islam yang dijabarkan dan dikembangkan berdasarkan asumsi-asumsi tentang manusia dan lingkungannya. Atau dengan kata lain pembaharuan pendidikan Islam adalah filsafat dan teori pendidikan Islam yang sesuai dengan ajaran Islam, dan untuk lingkungan ( sosial - kultural) yang dalam hal ini adalah masyarakat madani. [3] Konsep dasar pendidikan Islam supaya relevan dengan kepentingan umat Islam dan relevan dengan disain masyarakat madani. Maka penerapan konsep dasar filsafat dan teori pendidikan harus memperhatikan konteks supra sistem bagi kepentingan komunitas "masyarakat madani" yang dicita-citakan bangsa ini.












DAFTAR PUSTAKA

2 komentar: