BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kurikulum
2013 mengajak kita semua untuk semangat dan optimis akan meraih pendidikan yang
lebih baik. Kurikulum 2013 yang menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam
pembelajaran menggunakan pendekatan ilmiah sebagai katalisator utamanya atau
perangkat atau apa pun itu namanya. Pendekatan ilmiah (scientific approach)
diyakini sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan,
dan pengetahuan peserta didik dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi
kriteria ilmiah. Dalam konsep pendekatan scientific yang disampaikan oleh
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Selain
itu dalam proses belajar mengajar diperlukan adanya model pembelajaran, salah
satunya yaitu model pembelajaran berbasis masalah. Model pembelajaran berbasis
masalah yaitu pembelajaran yang dipusatkan pada siswa melalui pemberian masalah
di awal pembelajaran. Seperti yang dikemukakan oleh Soedjadi (200 : 99) bahwa:
“Model pembelajaran berbasis masalah memulai pembelajaran dengan masalah yang
kompleks misalnya tentang hal-hal dalam kehidupan sehari-hari, kemudian dikupas
menuju kepada konsep-konsep sederhana yang terkait”. Dengan pemberian masalah
diawal pembelajaran pada pembelajaran berbasis masalah diharapkan nantinya
mampu membawa siswa untuk berpikir kritis, kreatif, dan mempunyai keterampilan
memecahkan masalah, serta memperoleh pengetahuan dan konsep dasar dari materi
yang diajarkan tersebut. Setelah pemberian masalah di awal pembelajaran
kemudian dilanjutkan dengan adanya pengorganisasian siswa untuk belajar, melakukan
penyelidikan dan diakhiri dengan penyajian hasil karya serta pengevaluasian
proses pemecahan masalah. Sehingga dari pemecahan masalah tersebut siswa dapat
menemukan konsep dengan membangunnya sendiri.
Dalam
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional
berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. (UU Sisdiknas, 2003).
1.2
Rumusan Masalah
1. Apakah
yang dimaksud dengan pendekatan scientific?
2. Bagaimanakah
kriteria pendekatan scientific?
3. Apakah
langkah-langkah dalam pembelajaran scientific?
1.3
Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui pengertian pendekatan scientific.
2. Untuk
mengetahui kriteria pendekatan scientific.
3. Untuk
mengetahui langkah-langkah dalam pembelajaran scientific.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pendekatan Scientific
Pendekatan adalah konsep dasar yang
mewadahi, menginspirasi, menguatkan, dan melatari pemikiran tentang bagaimana
metode pembelajaran diterapkan berdasarkan teori tertentu. Oleh karena itu
banyak pandangan yang menyatakan bahwa pendekatan sama artinya dengan metode.
Pendekatan ilmiah berarti konsep dasar yang menginspirasi atau melatarbelakangi
perumusan metode mengajar dengan menerapkan karakteristik yang ilmiah.
Pendekatan pembelajaran ilmiah (scientific teaching) merupakan bagian
dari pendekatan pedagogis pada pelaksanaan pembelajaran dalam kelas yang
melandasi penerapan metode ilmiah.
Pengertian penerapan pendekatan ilmiah
dalam pembelajaran tidak hanya fokus pada bagaimana mengembangkan kompetensi
siswa dalam melakukan observasi atau eksperimen, namun bagaimana mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan berpikir sehingga dapat mendukung aktivitas
kreatif dalam berinovasi atau berkarya.
Menurut majalah Forum Kebijakan
Ilmiah yang terbit di Amerika pada tahun 2004 sebagaimana dikutip Wikipedia menyatakan
bahwa pembelajaran ilmiah mencakup strategi pembelajaran siswa aktif yang
mengintegrasikan siswa dalam proses berpikir dan penggunaan metode yang teruji
secara ilmiah sehingga dapat membedakan kemampuan siswa yang bervariasi.
Penerapan metode ilmiah membantu guru mengindentifikasi perbedaan kemampuan
siswa. Pada penerbitan berikutnya pada tahun 2007 dinyatakan bahwa penerapan
pendekatan scientific dalam pembelajaran harus memenuhi tiga prinsip
utama, yaitu:
1.
Belajar siswa aktif, dalam hal ini termasuk
inquiry-based learning atau belajar berbasis penelitian, cooperative learning
atau belajar berkelompok, dan belajar berpusat pada siswa.
2.
Assessment berarti pengukuran kemajuan belajar
siswa yang dibandingkan dengan target pencapaian tujuan belajar.
3.
Keberagaman mengandung makna bahwa dalam pendekatan
ilmiah mengembangkan pendekatan keragaman. Pendekatan ini membawa konsekuensi
siswa unik, kelompok siswa unik, termasuk keunikan dari kompetensi, materi,
instruktur, pendekatan dan metode mengajar, serta konteks.
Metode ilmiah merupakan teknik merumuskan
pertanyaan dan menjawabnya melalui kegiatan observasi dan melaksanakan
percobaan. Dalam penerapan metode ilmiah terdapat aktivitas yang dapat
diobservasi seperti mengamati, menanya, mengolah, menalar, menyajikan,
menyimpulkan, dan mencipta. Pelaksanaan metode ilmiah tersusun dalam tujuh
langkah berikut:
1. Merumuskan pertanyaan.
2. Merumuskan latar belakang penelitian.
3. Merumuskan hipotesis.
4. Menguji hipotesis melalui percobaan.
5. Menganalisis hasil penelitian dan merumuskan
kesimpulan.
6. Jika hipotesis terbukti benar maka dapat
dilanjutkan dengan laporan.
7. Jika hipotesis terbukti tidak benar atau
benar sebagian maka lakukan pengujian kembali.
Penerapan metode ilmiah merupakan proses
berpikir logis berdasarkan fakta dan teori. Pertanyaan muncul dari pengetahuan
yang telah dikuasai. Karena itu kemampuan bertanya merupakan kemampuan dasar
dalam mengembangkan berpikir ilmiah. Informasi baru digali untuk menjawab
pertanyaan. Oleh karena itu, penguasaan teori dalam sebagai dasar untuk
menerapkan metode ilmiah. Dengan menguasi teori maka siswa dapat
menyederhanakan penjelasan tentang suatu gejala, memprediksi, memandu perumusan
kerangka pemikiran untuk memahami masalah. Bersamaan dengan itu, teori menyediakan
konsep yang relevan sehingga teori menjadi dasar dan mengarahkan perumusan
pertanyaan penelitian.
2.2 Kriteria Pendekatan Scientific
Berikut ini tujuh kriteria sebuah
pendekatan pembelajaran dapat dikatakan sebagai pembelajaran scientific, yaitu:
1.
Materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena
yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas
kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata.
2.
Penjelasan guru, respon siswa, dan interaksi edukatif
guru-siswa terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau
penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.
3.
Mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara
kritis, analistis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan
masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran.
4.
Mendorong dan menginspirasi siswa mampu berpikir
hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari
materi pembelajaran.
5.
Mendorong dan menginspirasi siswa mampu memahami,
menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam
merespon materi pembelajaran.
6.
Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang
dapat dipertanggungjawabkan.
7.
Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan
jelas, namun menarik sistem penyajiannya.
Proses pembelajaran yang
mengimplementasikan pendekatan scientific akan menyentuh tiga ranah, yaitu:
sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotor).
Dengan proses pembelajaran yang demikian maka diharapkan hasil belajar
melahirkan peserta didik yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui
penguatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi.
Adapun penjelasan dari diagram pendekatan
pembelajaran scientific (pendekatan ilmiah) dengan menyentuh ketiga ranah
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Ranah sikap menggamit transformasi substansi atau
materi ajar agar peserta didik “tahu mengapa”.
2.
Ranah keterampilan menggamit transformasi substansi
atau materi ajar agar peserta didik “tahu bagaimana”.
3.
Ranah pengetahuan menggamit transformasi substansi
atau materi ajar agar peserta didik “tahu apa.”
Hasil akhirnya adalah peningkatan
dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik (soft skills)
dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard
skills) dari peserta didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, pengetahuan,
dan keterampilan. Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam
pembelajaran, yaitu menggunakan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah
(scientific appoach) dalam pembelajaran sebagaimana dimaksud meliputi
mengamati, menanya, menalar, mencoba, membentuk jejaring untuk semua mata
pelajaran.
2.3 Langkah-langkah dalam Pembelajaran
Scientific
Pembelajaran scientific terdiri atas lima
langkah, yaitu Observing (mengamati), Questioning (menanya), Associating
(menalar), Experimenting (mencoba), Networking (membentuk
Jejaring/ mengkomunikasikan).
1.
Mengamati
Mengamati mengutamakan kebermaknaan
proses pembelajaran (meaningfull learning). Mengamati memiliki
keunggulan tertentu, seperti menyajikan media objek secara nyata, peserta
didik senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya. Tentu saja kegiatan
mengamati dalam rangka pembelajaran ini biasanya memerlukan waktu persiapan yang
lama dan matang, biaya dan tenaga relatif banyak, dan jika tidak terkendali
akan mengaburkan makna serta tujuan pembelajaran.
Mengamati sangat bermanfaat bagi
pemenuhan rasa ingin tahu peserta didik. Sehingga proses pembelajaran memiliki
kebermaknaan yang tinggi. Dengan metode observasi peserta didik menemukan fakta
bahwa ada hubungan antara objek yang dianalisis dengan materi pembelajaran yang
digunakan oleh guru.
Kegiatan mengamati dalam pembelajaran
dilakukan dengan menempuh langkah-langkah seperti berikut ini.
a.
Menentukan objek apa yang akan diobservasi.
b.
Membuat pedoman observasi sesuai dengan lingkup objek
yang akan diobservasi.
c.
Menentukan secara jelas data-data apa yang
perlu diobservasi, baik primer maupun sekunder.
d.
Menentukan di mana tempat objek yang akan diobservasi.
e.
Menentukan secara jelas bagaimana observasi akan
dilakukan untuk mengumpulkan data agar berjalan mudah dan lancar.
f.
Menentukan cara dan melakukan pencatatan atas hasil
observasi , seperti menggunakan buku catatan, kamera, tape recorder, video
perekam, dan alat-alat tulis lainnya.
Kegiatan observasi dalam proses
pembelajaran meniscayakan keterlibatan peserta didik secara langsung. Dalam
kaitan ini, guru harus memahami bentuk keterlibatan peserta didik dalam
observasi tersebut.
a.
Observasi biasa (common observation). Pada
observasi biasa untuk kepentingan pembelajaran, peserta didik merupakan subjek
yang sepenuhnya melakukan observasi (complete observer). Di sini peserta
didik sama sekali tidak melibatkan diri dengan pelaku, objek, atau situasi yang
diamati.
b.
Observasi terkendali (controlled observation).
Seperti halnya observasi biasa, pada observasi terkendali untuk kepentingan
pembelajaran, peserta didik sama sekali tidak melibatkan diri dengan pelaku,
objek, atau situasi yang diamati. Mereka juga tidak memiliki hubungan apa pun
dengan pelaku, objek, atau situasi yang diamati. Namun demikian, berbeda dengan
observasi biasa, pada observasi terkendali pelaku atau objek yang diamati
ditempatkan pada ruang atau situasi yang dikhususkan. Karena itu, pada
pembelajaran dengan observasi terkendali termuat nilai-nilai percobaan atau
eksperimen atas diri pelaku atau objek yang diobservasi.
c.
Observasi partisipatif (participant observation).
Pada observasi partisipatif, peserta didik melibatkan diri secara langsung
dengan pelaku atau objek yang diamati. Sejatinya, observasi semacam ini paling
lazim dilakukan dalam penelitian antropologi khususnya etnografi. Observasi
semacam ini mengharuskan peserta didik melibatkan diri pada pelaku, komunitas,
atau objek yang diamati. Di bidang pengajaran bahasa, misalnya, dengan
menggunakan pendekatan ini berarti peserta didik hadir dan “bermukim” langsung
di tempat subjek atau komunitas tertentu dan pada waktu tertentu pula
untuk mempelajari bahasa atau dialek setempat, termasuk melibatkan diri
secara langsung dalam situasi kehidupan mereka.
Selama proses pembelajaran, peserta didik
dapat melakukan observasi dengan dua cara pelibatan diri. Kedua cara pelibatan
dimaksud yaitu observasi berstruktur dan observasi tidak berstruktur,
seperti dijelaskan berikut ini.
a.
Observasi berstruktur. Pada observasi
berstruktur dalam rangka proses pembelajaran, fenomena subjek, objek, atau
situasi apa yang ingin diobservasi oleh peserta didik telah direncanakan oleh
secara sistematis di bawah bimbingan guru.
b.
Observasi tidak berstruktur. Pada observasi yang tidak
berstruktur dalam rangka proses pembelajaran, tidak ditentukan secara baku atau
rijid mengenai apa yang harus diobservasi oleh peserta didik. Dalam kerangka
ini, peserta didik membuat catatan, rekaman, atau mengingat dalam memori secara
spontan atas subjek, objektif, atau situasi yang diobservasi.
Praktik observasi dalam pembelajaran
hanya akan efektif jika peserta didik dan guru melengkapi diri dengan dengan
alat-alat pencatatan dan alat-alat lain, seperti: (1) tape recorder, untuk
merekam pembicaraan; (1) kamera, untuk merekam objek atau kegiatan secara
visual; (2) film atau video, untuk merekam kegiatan objek atau secara
audio-visual; dan (3) alat-alat lain sesuai dengan keperluan.
Secara lebih luas, alat atau instrumen
yang digunakan dalam melakukan observasi, dapat berupa daftar cek (checklist),
skala rentang (rating scale), catatan anekdotal (anecdotal record), catatan
berkala, dan alat mekanikal (mechanical device). Daftar cek dapat berupa suatu
daftar yang berisikan nama-nama subjek, objek, atau faktor- faktor yang akan
diobservasi. Skala rentang , berupa alat untuk mencatat gejala atau fenomena
menurut tingkatannya. Catatan anekdotal berupa catatan yang dibuat oleh peserta
didik dan guru mengenai kelakuan-kelakuan luar biasa yang ditampilkan oleh
subjek atau objek yang diobservasi. Alat mekanikal berupa alat mekanik
yang dapat dipakai untuk memotret atau merekam peristiwa-peristiwa tertentu
yang ditampilkan oleh subjek atau objek yang diobservasi.
Prinsip-rinsip yang harus diperhatikan
oleh guru dan peserta didik selama observasi pembelajaran disajikan berikut
ini.
a.
Cermat, objektif, dan jujur serta terfokus pada objek
yang diobservasi untuk kepentingan pembelajaran.
b.
Banyak atau sedikit serta homogenitas atau
hiterogenitas subjek, objek, atau situasi yang diobservasi. Makin banyak dan
hiterogen subjek, objek, atau situasi yang diobservasi, makin sulit kegiatan
obervasi itu dilakukan. Sebelum observasi dilaksanakan, guru dan peserta
didik sebaiknya menentukan dan menyepakati cara dan prosedur pengamatan.
c.
Guru dan peserta didik perlu memahami apa yang hendak
dicatat, direkam, dan sejenisnya, serta bagaimana membuat catatan atas
perolehan observasi.
2.
Menanya
Guru yang efektif mampu
menginspirasi peserta didik untuk meningkatkan dan mengembangkan ranah sikap,
keterampilan, dan pengetahuannya. Pada saat guru bertanya, pada saat itu pula
dia membimbing atau memandu peserta didiknya belajar dengan baik. Ketika guru
menjawab pertanyaan peserta didiknya, ketika itu pula dia mendorong asuhannya
itu untuk menjadi penyimak dan pembelajar yang baik.
Berbeda dengan penugasan yang
menginginkan tindakan nyata, pertanyaan dimaksudkan untuk memperoleh tanggapan
verbal. Istilah “pertanyaan” tidak selalu dalam bentuk “kalimat tanya”,
melainkan juga dapat dalam bentuk pernyataan, asalkan keduanya menginginkan
tanggapan verbal.
Fungsi bertanya: (1) Membangkitkan rasa
ingin tahu, minat, dan perhatian peserta didik tentang suatu tema atau
topik pembelajaran; (2) Mendorong dan menginspirasi peserta didik untuk aktif
belajar, serta mengembangkan pertanyaan dari dan untuk dirinya sendiri; (3)
Mendiagnosis kesulitan belajar peserta didik sekaligus menyampaikan ancangan
untuk mencari solusinya; (4) Menstrukturkan tugas-tugas dan memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan sikap, keterampilan, dan
pemahamannya atas substansi pembelajaran yang diberikan; (5) Membangkitkan
keterampilan peserta didik dalam berbicara, mengajukan pertanyaan, dan memberi
jawaban secara logis, sistematis, dan menggunakan bahasa yang baik dan benar;
(6) Mendorong partisipasi peserta didik dalam berdiskusi, berargumen,
mengembangkan kemampuan berpikir, dan menarik simpulan; (7)
Membangun sikap keterbukaan untuk saling memberi dan menerima pendapat atau
gagasan, memperkaya kosa kata, serta mengembangkan toleransi sosial dalam hidup
berkelompok; (8) Membiasakan peserta didik berpikir spontan dan cepat, serta
sigap dalam merespon persoalan yang tiba-tiba muncul; dan (9) Melatih
kesantunan dalam berbicara dan membangkitkan kemampuan berempati satu sama
lain.
Kriteria Pertanyaan yang baik: (1)
Singkat dan jelas; (2) Menginspirasi jawaban; (3) Memiliki fokus; (4) Bersifat
probing atau divergen; (5) Bersifat validatif atau penguatan; (6) Memberi
kesempatan peserta didik untuk berpikir ulang; (7) Merangsang peningkatan
tuntutan kemampuan kognitif; (8) Merangsang proses interaksi.
3.
Menalar
Istilah “menalar” dalam kerangka
proses pembelajaran dengan pendekatan ilmiah yang dianut dalam Kurikulum 2013
untuk menggambarkan bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif. Titik
tekannya tentu dalam banyak hal dan situasi peserta didik harus lebih aktif
daripada guru. Penalaran adalah proses berfikir yang logis dan sistematis atas
fakta-fakta empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa
pengetahuan.
Penalaran dimaksud merupakan penalaran
ilmiah, meski penalaran non-ilmiah tidak selalu tidak bermanfaat. Istilah
menalar di sini merupakan padanan dari associating; bukan merupakan terjemanan
dari reasonsing, meski istilah ini juga bermakna menalar atau penalaran. Karena
itu, istilah aktivitas menalar dalam konteks pembelajaran pada Kurikulum 2013
dengan pendekatan ilmiah banyak merujuk pada teori belajar asosiasi atau
pembelajaran asosiatif. Istilah asosiasi dalam pembelajaran merujuk pada kemampuan
mengelompokkan beragam ide dan mengasosiasikan beragam peristiwa untuk kemudian
memasukannya menjadi penggalan memori.
Selama mentransfer peristiwa-peristiwa
khusus ke otak, pengalaman tersimpan dalam referensi dengan peristiwa lain.
Pengalaman-pengalaman yang sudah tersimpan di memori otak berelasi dan
berinteraksi dengan pengalaman sebelumnya yang sudah tersedia. Proses itu
dikenal sebagai asosiasi atau menalar. Dari persepektif psikologi, asosiasi
merujuk pada koneksi antara entitas konseptual atau mental sebagai hasil dari
kesamaan antara pikiran atau kedekatan dalam ruang dan waktu.
Menurut teori asosiasi, proses
pembelajaran akan berhasil secara efektif jika terjadi interaksi langsung
antara pendidik dengan peserta didik. Pola interaksi itu dilakukan melalui
stimulus dan respons (S-R). Teori ini dikembangan berdasarkan hasil
eksperimen Thorndike, yang kemudian dikenal dengan teori asosiasi. Jadi,
prinsip dasar proses pembelajaran yang dianut oleh Thorndike adalah asosiasi,
yang juga dikenal dengan teori Stimulus-Respon (S-R). Menurut Thorndike, proses
pembelajaran, lebih khusus lagi proses belajar peserta didik terjadi secara
perlahan atau inkremental/bertahap, bukan secara tiba-tiba. Thorndike
mengemukakan berapa hukum dalam proses pembelajaran.
a.
Hukum efek (The Law of Effect), di mana
intensitas hubungan antara stimulus (S) dan respon (R) selama proses
pembelajaran sangat dipengaruhi oleh konsekuensi dari hubungan yang terjadi.
Jika akibat dari hubungan S-R itu dirasa menyenangkan, maka perilaku peserta
didik akan mengalami penguatan. Sebaliknya, jika akibat hubungan S-R dirasa
tidak menyenangkan, maka perilaku peserta didik akan melemah. Menurut
Thorndike, efek dari reward (akibat yang menyenangkan) jauh lebih besar dalam
memperkuat perilaku peserta didik dibandingkan efek punishment (akibat yang
tidak menyenangkan) dalam memperlemah perilakunya. Ini bermakna bahwa reward
akan meningkatkan perilaku peserta didik, tetapi punishment belum tentu akan
mengurangi atau menghilangkan perilakunya.
b.
Hukum latihan (The Law of Exercise). Awalnya,
hukum ini terdiri dari dua jenis, yang setelah tahun 1930 dinyatakan dicabut
oleh Thorndike. Karena dia menyadari bahwa latihan saja tidak dapat memperkuat
atau membentuk perilaku. Pertama, Law of Use yaitu hubungan antara S-R akan
semakin kuat jika sering digunakan atau berulang-ulang. Kedua, Law of Disuse,
yaitu hubungan antara S-R akan semakin melemah jika tidak dilatih atau
dilakukan berulang-ulang. Menurut Thorndike, perilaku dapat dibentuk dengan
menggunakan penguatan (reinforcement). Memang, latihan berulang tetap dapat
diberikan, tetapi yang terpenting adalah individu menyadari konsekuensi
perilakunya.
c.
Hukum kesiapan (The Law of Readiness). Menurut
Thorndike, pada prinsipnya apakah sesuatu itu akan menyenangkan atau tidak
menyenangkan untuk dipelajari tergantung pada kesiapan belajar individunya.
Dalam proses pembelajaran, hal ini bermakna bahwa jika peserta dalam keadaan
siap dan belajar dilakukan, maka mereka akan merasa puas. Sebaliknya, jika
peserta didik dalam keadaan tidak siap dan belajar terpaksa dilakukan, maka
mereka akan merasa tidak puas bahkan mengalami frustrasi.
Prinsip-prinsip dasar dari Thorndike
kemudian diperluas oleh B.F. Skinner dalam Operant Conditioning atau
pelaziman/pengkondisian operan. Pelaziman operan adalah bentuk pembelajaran
dimana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku menghasilkan perubahan dalam
probabilitas perilaku itu akan diulangi. Merujuk pada teori S-R, proses
pembelajaran akan makin efektif jika peserta didik makin giat belajar. Dengan
begitu, berarti makin tinggi pula kemampuannya dalam menghubungkan S dengan R.
4.
Mencoba
Untuk memperoleh hasil belajar yang nyata
atau otentik, peserta didik harus mencoba atau melakukan percobaan, terutama
untuk materi atau substansi yang sesuai. Pada mata pelajaran IPA, misalnya,
peserta didik harus memahami konsep-konsep IPA dan kaitannya dengan kehidupan
sehari-hari. Peserta didik pun harus memiliki keterampilan proses untuk
mengembangkan pengetahuan tentang alam sekitar, serta mampu menggunakan metode
ilmiah dan bersikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya
sehari-hari.
Aplikasi metode eksperimen atau mencoba
dimaksudkan untuk mengembangkan berbagai ranah tujuan belajar, yaitu sikap,
keterampilan, dan pengetahuan. Aktivitas pembelajaran yang nyata untuk ini
adalah: (1) Menentukan tema atau topik sesuai dengan kompetensi dasar menurut
tuntutan kurikulum; (2) Mempelajari cara-cara penggunaan alat dan bahan yang
tersedia dan harus disediakan; (3) Mempelajari dasar teoritis yang relevan dan
hasil-hasil eksperimen sebelumnya; (4) Melakukan dan mengamati percobaan; (5) Mencatat
fenomena yang terjadi, menganalisis, dan menyajikan data; (6) Menarik simpulan
atas hasil percobaan; dan (7) Membuat laporan dan mengkomunikasikan hasil
percobaan.
Agar pelaksanaan percobaan dapat berjalan
lancar maka: (1) Guru hendaknya merumuskan tujuan eksperimen yanga akan
dilaksanakan murid, (2) Guru bersama murid mempersiapkan perlengkapan yang
dipergunakan, (3) Perlu memperhitungkan tempat dan waktu, (4) Guru menyediakan
kertas kerja untuk pengarahan kegiatan murid, (5) Guru membicarakan masalah
yang akan dijadikan eksperimen, (6) Membagi kertas kerja kepada murid, (7)
Murid melaksanakan eksperimen dengan bimbingan guru, dan (8) Guru mengumpulkan
hasil kerja murid dan mengevaluasinya, bila dianggap perlu didiskusikan secara
klasikal.
5.
Mengomunikasikan/Jejaring
Jejaring Pembelajaran disebut juga Pembelajaran
Kolaboratif. Apa yang dimaksud dengan pembelajaran kolaboratif?
Pembelajaran kolaboratif merupakan suatu filsafat personal, lebih dari sekadar
sekadar teknik pembelajaran di kelas-kelas sekolah. Kolaborasi esensinya
merupakan filsafat interaksi dan gaya hidup manusia yang menempatkan dan
memaknai kerjasama sebagai struktur interaksi yang dirancang secara baik dan
disengaja rupa untuk memudahkan usaha kolektif dalam rangka mencapai tujuan
bersama.
Pada pembelajaran kolaboratif kewenangan
guru, fungsi guru lebih bersifat direktif atau manajer belajar, sebaliknya,
peserta didiklah yang harus lebih aktif. Jika pembelajaran kolaboratif
diposisikan sebagai satu falsafah pribadi, maka ia menyentuh tentang identitas
peserta didik terutama jika mereka berhubungan atau berinteraksi dengan yang
lain atau guru. Dalam situasi kolaboratif itu, peserta didik berinteraksi
dengan empati, saling menghormati, dan menerima kekurangan atau kelebihan
masing-masing. Dengan cara semacam ini akan tumbuh rasa aman, sehingga
memungkin peserta didik menghadapi aneka perubahan dan tuntutan belajar secara
bersama-sama.
Ada empat sifat kelas atau pembelajaran
kolaboratif. Dua sifat berkenaan dengan perubahan hubungan antara guru
dan peserta didik. Sifat ketiga berkaitan dengan pendekatan baru dari
penyampaian guru selama proses pembelajaran. Sifat keempat menyatakan isi kelas
atau pembelajaran kolaboratif. Adapun penjelasannya sebagai
berikut.
a. Guru dan
peserta didik saling berbagi informasi. Dengan pembelajaran kolaboratif,
peserta didik memiliki ruang gerak untuk menilai dan membina ilmu
pengetahuan, pengalaman personal, bahasa komunikasi, strategi dan konsep
pembelajaran sesuai dengan teori, serta menautkan kondisi sosial budaya dengan
situasi pembelajaran. Disini, peran guru lebih banyak sebagai pembimbing dan
manajer belajar ketimbang memberi instruksi dan mengawasi secara rijid.
b. Berbagi
tugas dan kewenangan. Pada pembelajaran atau kelas kolaboratif, guru berbagi
tugas dan kewenangan dengan peserta didik, khususnya untuk hal-hal tertentu.
Cara ini memungkinan peserta didik menimba pengalaman mereka sendiri,
berbagi strategi dan informasi, menghormati antarsesama, mendorong tumbuhnya
ide-ide cerdas, terlibat dalam pemikiran kreatif dan kritis serta memupuk dan
menggalakkan mereka mengambil peran secara terbuka dan bermakna.
c. Guru sebagai
mediator. Pada pembelajaran atau kelas kolaboratif, guru berperan sebagai
mediator atau perantara. Guru berperan membantu menghubungkan informasi
baru dengan pengalaman yang ada serta membantu peserta didik jika mereka
mengalami kebutuhan dan bersedia menunjukkan cara bagaimana mereka memiliki
kesungguhan untuk belajar.
d. Kelompok
peserta didik yang heterogen. Sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta
didik yang tumbuh dan berkembang sangat penting untuk memperkaya pembelajaran
di kelas. Pada kelas kolaboratif peserta didik dapat menunjukkan
kemampuan dan keterampilan mereka, berbagi informasi, serta mendengar atau
membahas sumbangan informasi dari peserta didik lainnya. Dengan cara seperti
ini akan muncul “keseragaman” di dalam heterogenitas peserta didik.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1. Pendekatan
scientific adalah konsep dasar yang menginspirasi atau melatarbelakangi
perumusan metode mengajar dengan menerapkan karakteristik yang ilmiah.
Pendekatan pembelajaran ilmiah (scientific teaching) merupakan bagian
dari pendekatan pedagogis pada pelaksanaan pembelajaran dalam kelas yang melandasi
penerapan metode ilmiah.
2. Kriteria
pendekatan scientific yaitu 1. Materi pembelajaran berbasis pada fakta atau
fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan
sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata; 2. Penjelasan guru,
respon siswa, dan interaksi edukatif guru-siswa terbebas dari prasangka yang
serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang
dari alur berpikir logis; 3. Mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara
kritis, analistis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan
masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran; 4. Mendorong dan
menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan,
dan tautan satu sama lain dari materi pembelajaran; 5. Mendorong dan
menginspirasi siswa mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir
yang rasional dan objektif dalam merespon materi pembelajaran; 6. Berbasis pada
konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan; 7. Tujuan
pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem
penyajiannya.
3. Langkah-langkah
pembelajaran scientific yaitu 1. Mengamati; 2. Menanya; 3. Menalar; 4. Mencoba;
5. Mengomunikasikan/Jejaring.
DAFTAR
PUSTAKA
http://solikhaton.blogspot.co.id/2014/06/contoh-makalah-pendekatan-scientific.html
(Rabu, 23 Maret 2016, 14.00 WIB)
http://www.salamedukasi.com/2014/06/langkah-langkah-pembelajaran-scientific.html
(Rabu, 23 Maret 2016, 14.07 WIB)
http://zoetrianiphysics.blogspot.co.id/2015/06/makalah-model-pembelajaran-pendekatan.html (Rabu,
23 Maret 2016, 14.00 WIB)
Good work. English Learning
BalasHapus