cursor

Senin, 18 April 2016

MAKALAH PENDEKATAN SCIENTIFIC



BAB I
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
       Kurikulum 2013 mengajak kita semua untuk semangat dan optimis akan meraih pendidikan yang lebih baik. Kurikulum 2013 yang menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran menggunakan pendekatan ilmiah sebagai katalisator utamanya atau perangkat atau apa pun itu namanya. Pendekatan ilmiah (scientific approach) diyakini sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah. Dalam konsep pendekatan scientific yang disampaikan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 

 
       Selain itu dalam proses belajar mengajar diperlukan adanya model pembelajaran, salah satunya yaitu model pembelajaran berbasis masalah. Model pembelajaran berbasis masalah yaitu pembelajaran yang dipusatkan pada siswa melalui pemberian masalah di awal pembelajaran. Seperti yang dikemukakan oleh Soedjadi (200 : 99) bahwa: “Model pembelajaran berbasis masalah memulai pembelajaran dengan masalah yang kompleks misalnya tentang hal-hal dalam kehidupan sehari-hari, kemudian dikupas menuju kepada konsep-konsep sederhana yang terkait”. Dengan pemberian masalah diawal pembelajaran pada pembelajaran berbasis masalah diharapkan nantinya mampu membawa siswa untuk berpikir kritis, kreatif, dan mempunyai keterampilan memecahkan masalah, serta memperoleh pengetahuan dan konsep dasar dari materi yang diajarkan tersebut. Setelah pemberian masalah di awal pembelajaran kemudian dilanjutkan dengan adanya pengorganisasian siswa untuk belajar, melakukan penyelidikan dan diakhiri dengan penyajian hasil karya serta pengevaluasian proses pemecahan masalah. Sehingga dari pemecahan masalah tersebut siswa dapat menemukan konsep dengan membangunnya sendiri.
       Dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (UU Sisdiknas, 2003). 
1.2              Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan pendekatan scientific?
2.      Bagaimanakah kriteria pendekatan scientific?
3.      Apakah langkah-langkah dalam pembelajaran scientific?
1.3              Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian pendekatan scientific.
2.      Untuk mengetahui kriteria pendekatan scientific.
3.      Untuk mengetahui langkah-langkah dalam pembelajaran scientific.




BAB II
PEMBAHASAN
2.1       Pengertian Pendekatan Scientific
       Pendekatan adalah konsep dasar yang mewadahi, menginspirasi, menguatkan, dan melatari pemikiran tentang bagaimana metode pembelajaran diterapkan berdasarkan teori tertentu. Oleh karena itu banyak pandangan yang menyatakan bahwa pendekatan sama artinya dengan metode. Pendekatan ilmiah berarti konsep dasar yang menginspirasi atau melatarbelakangi perumusan metode mengajar dengan menerapkan karakteristik yang ilmiah. Pendekatan pembelajaran ilmiah (scientific teaching) merupakan bagian dari pendekatan pedagogis pada pelaksanaan pembelajaran dalam kelas yang melandasi penerapan metode ilmiah.
       Pengertian penerapan pendekatan ilmiah dalam pembelajaran tidak hanya fokus pada bagaimana mengembangkan kompetensi siswa dalam melakukan observasi atau eksperimen, namun bagaimana mengembangkan pengetahuan dan keterampilan berpikir sehingga dapat mendukung aktivitas kreatif dalam berinovasi atau berkarya.
       Menurut  majalah Forum Kebijakan Ilmiah yang terbit di Amerika pada tahun 2004 sebagaimana dikutip Wikipedia menyatakan  bahwa pembelajaran ilmiah mencakup strategi pembelajaran siswa aktif yang mengintegrasikan siswa dalam proses berpikir dan penggunaan metode yang teruji secara ilmiah sehingga dapat membedakan kemampuan siswa yang bervariasi. Penerapan metode ilmiah membantu guru mengindentifikasi perbedaan kemampuan siswa. Pada penerbitan berikutnya pada tahun 2007 dinyatakan bahwa penerapan pendekatan scientific dalam pembelajaran harus memenuhi  tiga prinsip utama, yaitu:
1.         Belajar siswa aktif, dalam hal ini  termasuk inquiry-based learning atau belajar berbasis penelitian, cooperative learning atau belajar berkelompok, dan belajar berpusat pada siswa.
2.         Assessment berarti  pengukuran kemajuan belajar siswa yang dibandingkan dengan target pencapaian tujuan belajar.
3.         Keberagaman mengandung makna bahwa dalam pendekatan ilmiah mengembangkan pendekatan keragaman. Pendekatan ini membawa konsekuensi siswa unik, kelompok siswa unik, termasuk keunikan dari kompetensi, materi, instruktur, pendekatan dan metode mengajar, serta konteks.
       Metode ilmiah merupakan teknik merumuskan pertanyaan dan menjawabnya melalui kegiatan observasi dan melaksanakan percobaan. Dalam penerapan metode ilmiah terdapat aktivitas yang dapat diobservasi seperti mengamati, menanya, mengolah, menalar, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta. Pelaksanaan metode ilmiah tersusun dalam tujuh langkah berikut:
1.    Merumuskan pertanyaan.
2.    Merumuskan latar belakang penelitian.
3.    Merumuskan hipotesis.
4.    Menguji hipotesis melalui percobaan.
5.    Menganalisis hasil penelitian dan merumuskan kesimpulan.
6.    Jika hipotesis terbukti benar maka dapat dilanjutkan dengan laporan.
7.    Jika hipotesis terbukti tidak benar atau benar sebagian maka lakukan pengujian            kembali.
       Penerapan metode ilmiah merupakan proses berpikir logis berdasarkan fakta dan teori. Pertanyaan muncul dari pengetahuan yang telah dikuasai. Karena itu kemampuan bertanya merupakan kemampuan dasar dalam mengembangkan berpikir ilmiah. Informasi baru digali untuk menjawab pertanyaan. Oleh karena itu, penguasaan teori dalam sebagai dasar untuk menerapkan metode ilmiah. Dengan menguasi teori maka siswa dapat menyederhanakan penjelasan tentang suatu gejala, memprediksi, memandu perumusan kerangka pemikiran untuk memahami masalah. Bersamaan dengan itu, teori menyediakan konsep yang relevan sehingga teori menjadi dasar dan mengarahkan perumusan pertanyaan penelitian.
2.2       Kriteria Pendekatan Scientific
       Berikut ini tujuh kriteria sebuah pendekatan pembelajaran dapat dikatakan sebagai pembelajaran scientific, yaitu:
1.         Materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata.
2.         Penjelasan guru, respon siswa, dan interaksi edukatif guru-siswa terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang   menyimpang dari alur berpikir logis.
3.         Mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara kritis, analistis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran.
4.         Mendorong dan menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari materi pembelajaran.
5.         Mendorong dan menginspirasi siswa mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon materi pembelajaran.
6.         Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.
7.         Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya.
pendekatan scientific dan 3 ranah yang disentuh       Proses pembelajaran yang mengimplementasikan pendekatan scientific akan menyentuh tiga ranah, yaitu: sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotor). Dengan proses pembelajaran yang demikian maka diharapkan hasil belajar melahirkan peserta didik yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi.
       Adapun penjelasan dari diagram pendekatan pembelajaran scientific (pendekatan ilmiah) dengan menyentuh ketiga ranah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.         Ranah sikap menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu mengapa”.
2.         Ranah keterampilan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu bagaimana”.
3.         Ranah pengetahuan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu apa.”
       Hasil akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik (soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skills) dari peserta didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu menggunakan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran sebagaimana dimaksud  meliputi mengamati, menanya, menalar, mencoba, membentuk jejaring untuk semua mata pelajaran.
2.3       Langkah-langkah dalam Pembelajaran Scientific
       Pembelajaran scientific terdiri atas lima langkah, yaitu Observing (mengamati), Questioning (menanya), Associating (menalar), Experimenting (mencoba), Networking (membentuk Jejaring/ mengkomunikasikan).
1.      Mengamati
       Mengamati mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull learning). Mengamati memiliki keunggulan  tertentu, seperti menyajikan media objek secara nyata, peserta didik senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya. Tentu saja kegiatan mengamati dalam rangka pembelajaran ini biasanya memerlukan waktu persiapan yang lama dan matang, biaya dan tenaga relatif banyak, dan jika tidak terkendali akan mengaburkan makna serta tujuan pembelajaran.
       Mengamati sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu peserta didik. Sehingga proses pembelajaran memiliki kebermaknaan yang tinggi. Dengan metode observasi peserta didik menemukan fakta bahwa ada hubungan antara objek yang dianalisis dengan materi pembelajaran yang digunakan oleh guru.
       Kegiatan mengamati dalam pembelajaran dilakukan dengan menempuh langkah-langkah seperti berikut ini.
a.         Menentukan objek apa yang akan diobservasi.
b.        Membuat pedoman observasi sesuai dengan lingkup objek yang akan diobservasi.
c.         Menentukan  secara jelas  data-data apa yang perlu diobservasi, baik primer maupun sekunder.
d.        Menentukan di mana tempat objek yang akan diobservasi.
e.         Menentukan secara jelas bagaimana observasi akan dilakukan untuk mengumpulkan data agar berjalan mudah dan lancar.
f.         Menentukan cara dan melakukan pencatatan atas hasil observasi , seperti menggunakan buku catatan, kamera, tape recorder, video perekam, dan alat-alat tulis lainnya.
       Kegiatan observasi  dalam proses pembelajaran meniscayakan keterlibatan peserta didik secara langsung. Dalam kaitan ini, guru harus memahami bentuk keterlibatan peserta didik dalam observasi tersebut.
a.         Observasi biasa (common observation). Pada observasi biasa untuk kepentingan pembelajaran, peserta didik merupakan subjek yang sepenuhnya melakukan observasi (complete observer). Di sini peserta didik sama sekali tidak melibatkan diri dengan pelaku, objek, atau situasi yang diamati.
b.        Observasi terkendali (controlled observation).  Seperti halnya observasi biasa, pada observasi terkendali untuk kepentingan pembelajaran, peserta didik sama sekali tidak melibatkan diri dengan pelaku, objek, atau situasi yang diamati. Mereka juga tidak memiliki hubungan apa pun dengan pelaku, objek, atau situasi yang diamati. Namun demikian, berbeda dengan observasi biasa, pada observasi terkendali pelaku atau objek  yang diamati ditempatkan pada ruang atau situasi yang dikhususkan. Karena itu, pada pembelajaran dengan observasi terkendali termuat nilai-nilai percobaan atau eksperimen  atas diri pelaku atau objek yang diobservasi.
c.         Observasi partisipatif (participant observation). Pada observasi partisipatif, peserta didik melibatkan diri secara langsung dengan pelaku atau objek yang diamati. Sejatinya, observasi semacam ini paling lazim dilakukan dalam penelitian antropologi khususnya etnografi. Observasi semacam ini mengharuskan peserta didik melibatkan diri pada pelaku, komunitas, atau objek yang diamati. Di bidang pengajaran bahasa, misalnya, dengan menggunakan pendekatan ini berarti peserta didik hadir dan “bermukim” langsung di tempat subjek atau komunitas tertentu dan pada waktu tertentu pula untuk  mempelajari bahasa atau dialek setempat, termasuk melibatkan diri secara langsung dalam situasi kehidupan mereka.
       Selama proses pembelajaran, peserta didik dapat melakukan observasi dengan dua cara pelibatan diri. Kedua cara pelibatan dimaksud  yaitu observasi berstruktur dan observasi tidak berstruktur, seperti dijelaskan berikut ini.
a.         Observasi berstruktur.  Pada observasi berstruktur dalam rangka proses pembelajaran, fenomena subjek, objek, atau situasi apa yang ingin diobservasi oleh peserta didik telah direncanakan oleh secara sistematis di bawah bimbingan guru.
b.        Observasi tidak berstruktur. Pada observasi yang tidak berstruktur dalam rangka proses pembelajaran, tidak ditentukan secara baku atau rijid mengenai apa yang harus diobservasi oleh peserta didik. Dalam kerangka ini, peserta didik membuat catatan, rekaman, atau mengingat dalam memori secara spontan atas subjek, objektif, atau situasi yang diobservasi.
       Praktik observasi dalam pembelajaran hanya akan efektif jika peserta didik dan guru melengkapi diri dengan dengan alat-alat pencatatan dan alat-alat lain, seperti: (1) tape recorder, untuk merekam pembicaraan; (1) kamera, untuk merekam objek atau kegiatan secara visual; (2) film atau video, untuk merekam kegiatan objek atau secara audio-visual; dan (3) alat-alat lain sesuai dengan keperluan.
       Secara lebih luas, alat atau instrumen yang digunakan dalam melakukan observasi, dapat berupa daftar cek (checklist), skala rentang (rating scale), catatan anekdotal (anecdotal record), catatan berkala, dan alat mekanikal (mechanical device). Daftar cek dapat berupa suatu daftar yang berisikan nama-nama subjek, objek, atau faktor- faktor yang akan diobservasi. Skala rentang , berupa alat untuk mencatat gejala atau fenomena menurut tingkatannya. Catatan anekdotal berupa catatan yang dibuat oleh peserta didik dan guru mengenai kelakuan-kelakuan luar biasa yang ditampilkan oleh subjek atau objek yang diobservasi.  Alat mekanikal berupa alat mekanik yang dapat dipakai untuk memotret atau merekam peristiwa-peristiwa tertentu yang ditampilkan oleh subjek atau objek yang diobservasi.
       Prinsip-rinsip yang harus diperhatikan oleh guru dan peserta didik selama observasi pembelajaran disajikan berikut ini.
a.         Cermat, objektif, dan jujur serta terfokus pada objek yang diobservasi untuk kepentingan pembelajaran.
b.        Banyak atau sedikit serta homogenitas atau hiterogenitas subjek, objek, atau situasi yang diobservasi. Makin banyak dan hiterogen subjek, objek, atau situasi yang diobservasi, makin sulit kegiatan obervasi itu  dilakukan. Sebelum observasi dilaksanakan, guru dan peserta didik sebaiknya menentukan dan menyepakati cara dan prosedur pengamatan.
c.         Guru dan peserta didik perlu memahami apa yang hendak dicatat, direkam, dan sejenisnya,  serta bagaimana membuat catatan atas perolehan observasi.
2.      Menanya
       Guru yang efektif mampu menginspirasi peserta didik untuk meningkatkan dan mengembangkan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuannya. Pada saat guru bertanya, pada saat itu pula dia membimbing atau memandu peserta didiknya belajar dengan baik. Ketika guru menjawab pertanyaan peserta didiknya, ketika itu pula dia mendorong asuhannya itu untuk menjadi penyimak dan pembelajar yang baik.
       Berbeda dengan penugasan yang menginginkan tindakan nyata, pertanyaan dimaksudkan untuk memperoleh tanggapan verbal. Istilah “pertanyaan” tidak selalu dalam bentuk “kalimat tanya”, melainkan juga dapat dalam bentuk pernyataan, asalkan keduanya menginginkan tanggapan verbal.
       Fungsi bertanya: (1) Membangkitkan rasa ingin tahu, minat, dan perhatian  peserta didik tentang suatu tema atau topik pembelajaran; (2) Mendorong dan menginspirasi peserta didik untuk aktif belajar, serta mengembangkan pertanyaan dari dan untuk dirinya sendiri; (3) Mendiagnosis kesulitan belajar peserta didik sekaligus menyampaikan ancangan untuk mencari solusinya; (4) Menstrukturkan tugas-tugas dan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan sikap, keterampilan, dan pemahamannya atas substansi pembelajaran yang diberikan; (5) Membangkitkan keterampilan peserta didik dalam berbicara, mengajukan pertanyaan, dan memberi jawaban secara logis, sistematis, dan menggunakan bahasa yang baik dan benar; (6) Mendorong partisipasi peserta didik dalam berdiskusi, berargumen, mengembangkan kemampuan berpikir,  dan menarik  simpulan; (7) Membangun sikap keterbukaan untuk saling memberi dan menerima pendapat atau gagasan, memperkaya kosa kata, serta mengembangkan toleransi sosial dalam hidup berkelompok; (8) Membiasakan peserta didik berpikir spontan dan cepat, serta sigap dalam merespon persoalan yang tiba-tiba muncul; dan (9) Melatih kesantunan dalam berbicara dan membangkitkan kemampuan berempati satu sama lain.
       Kriteria Pertanyaan yang baik: (1) Singkat dan jelas; (2) Menginspirasi jawaban; (3) Memiliki fokus; (4) Bersifat probing atau divergen; (5) Bersifat validatif atau penguatan; (6) Memberi kesempatan peserta didik untuk berpikir ulang; (7) Merangsang peningkatan tuntutan kemampuan kognitif; (8) Merangsang proses interaksi.
3.      Menalar
       Istilah “menalar” dalam kerangka proses pembelajaran dengan pendekatan ilmiah yang dianut dalam Kurikulum 2013 untuk menggambarkan bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif. Titik tekannya tentu dalam banyak hal dan situasi peserta didik harus lebih aktif daripada guru. Penalaran adalah proses berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-fakta empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan.
       Penalaran dimaksud merupakan penalaran ilmiah, meski penalaran non-ilmiah tidak selalu tidak bermanfaat. Istilah menalar di sini merupakan padanan dari associating; bukan merupakan terjemanan dari reasonsing, meski istilah ini juga bermakna menalar atau penalaran. Karena itu, istilah aktivitas menalar dalam konteks pembelajaran pada Kurikulum 2013 dengan pendekatan ilmiah banyak merujuk pada teori belajar asosiasi atau pembelajaran asosiatif. Istilah asosiasi dalam pembelajaran merujuk pada kemampuan mengelompokkan beragam ide dan mengasosiasikan beragam peristiwa untuk kemudian memasukannya menjadi penggalan memori.
       Selama mentransfer peristiwa-peristiwa khusus ke otak, pengalaman tersimpan dalam referensi dengan peristiwa lain. Pengalaman-pengalaman yang sudah tersimpan di memori otak berelasi dan berinteraksi dengan pengalaman sebelumnya yang sudah tersedia. Proses itu dikenal sebagai asosiasi atau menalar. Dari persepektif psikologi, asosiasi merujuk pada koneksi antara entitas konseptual atau mental sebagai hasil dari kesamaan  antara pikiran atau kedekatan dalam ruang dan waktu.
       Menurut teori asosiasi, proses pembelajaran akan berhasil secara efektif jika terjadi interaksi langsung antara pendidik dengan peserta didik. Pola interaksi itu dilakukan melalui stimulus dan respons (S-R).  Teori ini dikembangan berdasarkan hasil eksperimen Thorndike, yang kemudian dikenal dengan teori asosiasi. Jadi, prinsip dasar proses pembelajaran yang dianut oleh Thorndike adalah asosiasi, yang juga dikenal dengan teori Stimulus-Respon (S-R). Menurut Thorndike, proses pembelajaran, lebih khusus lagi proses belajar peserta didik terjadi secara perlahan atau inkremental/bertahap, bukan secara tiba-tiba. Thorndike mengemukakan berapa hukum dalam proses pembelajaran.
a.       Hukum efek (The Law of Effect), di mana intensitas hubungan antara stimulus (S) dan respon (R) selama proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh konsekuensi dari hubungan yang terjadi. Jika akibat dari hubungan S-R itu dirasa menyenangkan, maka perilaku peserta didik akan mengalami penguatan. Sebaliknya, jika akibat hubungan S-R dirasa tidak menyenangkan, maka perilaku peserta didik akan melemah. Menurut Thorndike, efek dari reward (akibat yang menyenangkan) jauh lebih besar dalam memperkuat perilaku peserta didik dibandingkan efek punishment (akibat yang tidak menyenangkan) dalam memperlemah perilakunya. Ini bermakna bahwa reward akan meningkatkan perilaku peserta didik, tetapi punishment belum tentu akan mengurangi atau menghilangkan perilakunya.
b.      Hukum latihan (The Law of Exercise). Awalnya, hukum ini terdiri dari dua jenis, yang setelah tahun 1930 dinyatakan dicabut oleh Thorndike. Karena dia menyadari bahwa latihan saja tidak dapat memperkuat atau membentuk perilaku. Pertama, Law of Use yaitu hubungan antara S-R akan semakin kuat jika sering digunakan atau berulang-ulang. Kedua, Law of Disuse, yaitu hubungan antara S-R akan semakin melemah jika tidak dilatih atau dilakukan berulang-ulang. Menurut Thorndike, perilaku dapat dibentuk dengan menggunakan penguatan (reinforcement). Memang, latihan berulang tetap dapat diberikan, tetapi yang terpenting adalah individu menyadari konsekuensi perilakunya.
c.       Hukum kesiapan (The Law of Readiness). Menurut Thorndike, pada prinsipnya apakah sesuatu itu akan menyenangkan atau tidak menyenangkan untuk dipelajari tergantung pada kesiapan belajar individunya. Dalam proses pembelajaran, hal ini bermakna bahwa jika peserta dalam keadaan siap dan belajar dilakukan, maka mereka akan merasa puas. Sebaliknya, jika peserta didik dalam keadaan tidak siap dan belajar terpaksa dilakukan, maka mereka akan merasa tidak puas bahkan mengalami frustrasi.
       Prinsip-prinsip dasar dari Thorndike kemudian diperluas oleh B.F. Skinner dalam Operant Conditioning atau pelaziman/pengkondisian operan. Pelaziman operan adalah bentuk pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas perilaku itu akan diulangi.  Merujuk pada teori S-R, proses pembelajaran akan makin efektif jika peserta didik makin giat belajar. Dengan begitu, berarti makin tinggi pula kemampuannya dalam menghubungkan S dengan R.
4.      Mencoba
       Untuk memperoleh hasil belajar yang nyata atau otentik, peserta didik harus mencoba atau melakukan percobaan, terutama untuk materi atau substansi yang sesuai. Pada mata pelajaran IPA, misalnya, peserta didik harus memahami konsep-konsep IPA dan kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Peserta didik pun harus memiliki keterampilan proses untuk mengembangkan pengetahuan tentang alam sekitar, serta mampu menggunakan metode ilmiah dan bersikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari.
       Aplikasi metode eksperimen atau mencoba dimaksudkan untuk mengembangkan berbagai ranah tujuan belajar, yaitu sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Aktivitas pembelajaran yang nyata untuk ini adalah: (1) Menentukan tema atau topik sesuai dengan kompetensi dasar menurut tuntutan kurikulum; (2) Mempelajari cara-cara penggunaan alat dan bahan yang tersedia dan harus disediakan; (3) Mempelajari dasar teoritis yang relevan dan hasil-hasil eksperimen sebelumnya; (4) Melakukan dan mengamati percobaan; (5) Mencatat fenomena yang terjadi, menganalisis, dan menyajikan data; (6) Menarik simpulan atas hasil percobaan; dan (7) Membuat laporan dan mengkomunikasikan hasil percobaan.
       Agar pelaksanaan percobaan dapat berjalan lancar maka: (1) Guru hendaknya merumuskan tujuan eksperimen yanga akan dilaksanakan murid, (2) Guru bersama murid mempersiapkan perlengkapan yang dipergunakan, (3) Perlu memperhitungkan tempat dan waktu, (4) Guru menyediakan kertas kerja untuk pengarahan kegiatan murid, (5) Guru membicarakan masalah yang akan dijadikan eksperimen, (6) Membagi kertas kerja kepada murid, (7) Murid melaksanakan eksperimen dengan bimbingan guru, dan (8) Guru mengumpulkan hasil kerja murid dan mengevaluasinya, bila dianggap perlu didiskusikan secara klasikal.

5.      Mengomunikasikan/Jejaring
       Jejaring Pembelajaran disebut juga Pembelajaran Kolaboratif.  Apa yang dimaksud dengan pembelajaran kolaboratif? Pembelajaran kolaboratif merupakan suatu filsafat personal, lebih dari sekadar sekadar teknik pembelajaran di kelas-kelas sekolah. Kolaborasi esensinya merupakan filsafat interaksi dan gaya hidup manusia yang menempatkan dan memaknai kerjasama sebagai struktur interaksi yang dirancang secara baik dan disengaja rupa untuk memudahkan usaha kolektif dalam rangka mencapai tujuan bersama.
       Pada pembelajaran kolaboratif kewenangan guru, fungsi guru lebih bersifat direktif atau manajer belajar, sebaliknya, peserta didiklah yang harus lebih aktif. Jika  pembelajaran kolaboratif diposisikan sebagai satu falsafah pribadi, maka ia menyentuh tentang identitas peserta didik terutama jika mereka berhubungan atau berinteraksi dengan yang lain atau guru. Dalam situasi kolaboratif itu, peserta didik berinteraksi dengan empati, saling menghormati, dan menerima kekurangan atau kelebihan masing-masing. Dengan cara semacam ini akan tumbuh rasa aman, sehingga memungkin peserta didik menghadapi aneka perubahan dan tuntutan belajar secara bersama-sama.
       Ada empat sifat kelas atau pembelajaran kolaboratif.  Dua sifat berkenaan dengan perubahan hubungan antara guru dan peserta didik. Sifat ketiga berkaitan dengan pendekatan baru dari penyampaian guru selama proses pembelajaran. Sifat keempat menyatakan isi kelas atau pembelajaran kolaboratif. Adapun penjelasannya sebagai berikut.
a.       Guru dan peserta didik saling berbagi informasi. Dengan pembelajaran kolaboratif,  peserta didik memiliki ruang gerak untuk menilai  dan membina ilmu pengetahuan, pengalaman personal, bahasa komunikasi, strategi dan konsep pembelajaran sesuai dengan teori, serta menautkan kondisi sosial budaya dengan situasi pembelajaran. Disini, peran guru lebih banyak sebagai pembimbing dan manajer belajar ketimbang memberi instruksi dan mengawasi secara rijid.
b.      Berbagi tugas dan kewenangan. Pada pembelajaran atau kelas kolaboratif, guru berbagi tugas dan kewenangan dengan peserta didik, khususnya untuk hal-hal tertentu. Cara ini memungkinan peserta didik menimba pengalaman mereka sendiri,  berbagi strategi dan informasi, menghormati antarsesama, mendorong tumbuhnya ide-ide cerdas, terlibat dalam pemikiran kreatif dan kritis serta memupuk dan menggalakkan mereka mengambil peran secara terbuka dan bermakna.
c.       Guru sebagai mediator.  Pada pembelajaran atau kelas kolaboratif, guru berperan sebagai mediator atau perantara. Guru berperan membantu menghubungkan informasi  baru dengan pengalaman yang ada serta membantu peserta didik jika mereka mengalami kebutuhan dan bersedia menunjukkan cara bagaimana mereka memiliki kesungguhan untuk belajar.
d.      Kelompok peserta didik yang heterogen. Sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik yang tumbuh dan berkembang sangat penting untuk memperkaya pembelajaran di kelas.  Pada kelas kolaboratif peserta didik dapat menunjukkan kemampuan dan keterampilan mereka, berbagi informasi, serta mendengar atau membahas sumbangan informasi dari peserta didik lainnya. Dengan cara seperti ini akan muncul “keseragaman” di dalam heterogenitas peserta didik.




BAB III
PENUTUP
3.1              Kesimpulan
1.      Pendekatan scientific adalah konsep dasar yang menginspirasi atau melatarbelakangi perumusan metode mengajar dengan menerapkan karakteristik yang ilmiah. Pendekatan pembelajaran ilmiah (scientific teaching) merupakan bagian dari pendekatan pedagogis pada pelaksanaan pembelajaran dalam kelas yang melandasi penerapan metode ilmiah.
2.      Kriteria pendekatan scientific yaitu 1. Materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata; 2. Penjelasan guru, respon siswa, dan interaksi edukatif guru-siswa terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang   menyimpang dari alur berpikir logis; 3. Mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara kritis, analistis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran; 4. Mendorong dan menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari materi pembelajaran; 5. Mendorong dan menginspirasi siswa mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon materi pembelajaran; 6. Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan; 7. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya.
3.      Langkah-langkah pembelajaran scientific yaitu 1. Mengamati; 2. Menanya; 3. Menalar; 4. Mencoba; 5. Mengomunikasikan/Jejaring.




DAFTAR PUSTAKA
http://solikhaton.blogspot.co.id/2014/06/contoh-makalah-pendekatan-scientific.html (Rabu,          23 Maret 2016, 14.00 WIB)
http://www.salamedukasi.com/2014/06/langkah-langkah-pembelajaran-scientific.html (Rabu,        23 Maret 2016, 14.07 WIB)



1 komentar: